Pengamat Perkotaan dan Transportasi dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai perbedaan aturan tersebut justru akan memicu ketidakpercayaan yang mendalam dari masyarakat kepada pemerintah. Sehingga akibatnya justru menimbulkan ketidakdisiplinan yang tidak terkendali.
"Jadi ini memunculkan distrust, ada ketidakpercayaan, pemerintah tidak kompak, masyarakat itu bingung mau siapa yang dipatuhi, siapa yang ditaati, jadi kalau pemerintahnya tidak tegas akhirnya masyarakat malah mengikuti anjuran-anjuran yang ada di media sosial. Karena Media Sosial bisa begitu banyak membanjiri dengan begitu banyak pula kepentingan di dalamnya," ujar Yayat kepada detikcom, Senin (13/4/2020).
Yayat khawatir kemudian masyarakat bisa semakin tak disiplin dan aktivitas di luar rumah menjadi masif kembali.
"Ketika membolehkan ini kan akan mendorong orang bergerak kemana-mana, ini kan jadi hal yang dilema, ada inkonsistensi di dalamnya," sambungnya.
Sebelumnya, dalam Permenhub 18 tahun 2020, pasal 11 ayat 1d, disebutkan bahwa dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan.
Padahal, dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 dinyatakan bahwa ojek daring hanya boleh beroperasi mengangkut barang, bukan orang. Bahkan aturan ini sudah terbit seminggu lebih dulu dibanding aturan yang dibuat Kemenhub.
Aturan tersebut juga diadaptasi Anies dalam Peraturan Gubernur no 33 tahun 2020. Dalam aturan itu dia juga melarang ojol untuk mengangkut penumpang, dan hanya boleh beroperasi mengangkut barang.
Simak Video "Video: Driver Ojol Ancam Gelar Aksi Lebih Besar Jika Regulasi Tak Berubah"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)