Bahayanya Gelombang Kedua Corona Bagi Ekonomi RI

Bahayanya Gelombang Kedua Corona Bagi Ekonomi RI

Soraya Novika - detikFinance
Rabu, 24 Jun 2020 09:45 WIB
Rencana penerapan new normal membawa harapan baru bagi perekonomian Indonesia. Penerapan new normal dipandang sebagai upaya adaptasi di tengah pandemi COVID-19.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Kegiatan ekonomi kembali dibuka setelah pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ada yang khawatir hal ini bisa mengundang terjadinya gelombang kedua (second wave) COVID-19 walaupun kegiatan ekonomi baru dibuka secara terbatas.

Apa saja bahaya gelombang kedua COVID-19 terhadap ekonomi RI?

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, jika terjadi gelombang kedua COVID-19 maka konsumsi rumah tangga akan semakin melemah. Kenaikan signifikan pada kasus positif bisa menurunkan kepercayaan konsumen khususnya kelompok menengah dan atas untuk kembali berbelanja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Misalnya mau belanja di mal, tapi ada gelombang kedua, ya jadi urun niat belanja daripada terkena virus. Apalagi di tengah pandemi iuran BPJS kesehatan naik, pastinya konsumen yang rasional akan mempertimbangkan biaya kesehatan yang mahal," kata Bhima kepada detikcom, Rabu (24/6/2020).

Imbasnya, jika ritel melambat, pastinya akan menyeret permintaan ke industri manufaktur baik otomotif, elektronik, pakaian jadi hingga alas kaki. Hampir semua sektor manufaktur akan terpukul, bisa lebih dalam dibandingkan pada awal masuknya virus bulan Maret lalu ke Indonesia.

ADVERTISEMENT

"Industri dalam posisi sulit, kembali beraktivitas tapi permintaan domestik menurun, dikhawatirkan beban operasional untuk gaji pegawai, perawatan mesin meningkat. Factory shutdown sangat mungkin terjadi dengan skala yang lebih besar," paparnya.

Sementara situasi ekspor juga sulit diprediksi, negara tujuan ekspor utama seperti China yang berkontribusi 15% terhadap total ekspor non migas menerapkan lockdown lebih luas apabila ada gelombang kedua.

"Ekspor akan anjlok karena permintaan dan supply bahan baku terganggu. Rantai pasok global akan menyebabkan delay pengiriman barang," katanya.

Bhima mewanti-wanti agar pemerintah bisa segera memitigasi investasi. Investasi disebut sebagai motor pertumbuhan yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja.

"Kinerja investasi bakal terpengaruh dengan second wave. Risiko untuk masuk ke negara berkembang meningkat, yang terjadi justru capital outflow karena investasi langsung akan beralih ke instrumen investasi yang aman. Banyak yang akan berbondong-bondong beli dolar atau yen dan emas," sambungnya.

Hal serupa disampaikan oleh Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Kekhawatiran akan gelombang kedua COVID-19, katanya, paling mempengaruhi pasar keuangan. Artinya ini akan menjadi persepsi negatif bagi investor khususnya investor portofolio yang ingin masuk ke Indonesia.

"Mereka akan ragu apakah Indonesia cukup prospektif kinerja ekonominya di tahun ini, karena seperti yang kita tahu jika gelombang kedua terjadi tentu ini akan semakin memperlambat proses pemulihan ekonomi Indonesia. Bahkan lebih buruk dari itu, gelombang kedua juga akan berpotensi mengkoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dalam dari apa yang diprediksikan," kata Yusuf.

Hal ini nantinya akan berpengaruh secara tidak langsung kepada usaha pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan dari luar dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pespektif investor terhadap prospek ekonomi yang suram akan mengurunkan niat untuk membeli SBN yang diterbitkan pemerintah.

"Padahal seperti yang kita tahu SBN ini adalah salah satu sumber pembiayaan fiskal pemerintah saat ini. Hal ini tentu akan menambah tantangan pembiayaan fiskal sampai dengan akhir tahun nanti," tambahnya.

Kekhawatiran gelombang kedua pada konsumsi juga akan memengaruhi kondisi psikologis konsumen.

"Mereka tidak akan serta merta untuk kemudian melakukan aktifitas ekonomi khususnya aktifitas ekonomi di luar rumah. Alhasil tujuan dibukanya mal sebagai stimulus untuk melakukan kegiatan konsumsi bukan tidak mungkin, tidak akan tercapai," tuturnya.

Menurutnya kondisi ini bisa lebih buruk apabila bantuan sosial tidak tersalurkan secara tepat. "Padahal bansos ini merupakan instrumen yang digunakan untuk menyangga agar daya beli tidak terperosok lebih dalam," pungkasnya.



Simak Video "Video: BI Sebut Daya Tahan Ekonomi RI Lebih Tinggi Dibanding AS-China"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads