Melihat Sejarah Pajak di Indonesia dan Dunia

Melihat Sejarah Pajak di Indonesia dan Dunia

Hendra Kusuma - detikFinance
Sabtu, 04 Jul 2020 10:04 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Siapa yang tak kenal dengan pajak, apalagi bagi masyarakat yang sudah memiliki penghasilan pasti mengenalnya. Namun barangkali tak banyak orang yang mengetahui tentang sejarah pajak di Indonesia dan dunia.

Pengertian Pajak

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan. Pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Begitulah kira-kira arti dari kata pajak.

Pajak saat ini menjadi sumber penerimaan suatu negara, dana yang berhasil dikumpulkan itu akan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, seperti di Indonesia akan dialokasikan ke beberapa program pembangunan ekonomi. Semua itu tujuannya demi kemakmuran rakyat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Pajak di Dunia

Bagi yang masih belum mengenal pajak, tidak ada salahnya untuk mengetahui sejarah pajak di Indonesia juga dunia. Sebab, untuk saat ini hidup di belahan dunia manapun pasti akan menemui aturan pajak, dan suka tidak suka negara mengambil uang pajak secara paksa dari dompet kita lantaran sudah ada payung hukumnya.

Sejarah mencatat kehadiran pajak berawal dari peradaban masyarakat maju (Frecknall-Hughes, 2015). Awalnya dari ditemukannya beberapa dokumen berupa tulisan kuno berbentuk baji di Mesopotamia, sekarang lokasi itu dikenal sebagai negara Irak.

ADVERTISEMENT

Dalam dokumen kuno itu menunjukkan pemungutan pajak dimulai sekitar 3300 sebelum masehi (SM). Pada saat itu objek pajaknya dalam bentuk emas, hewan ternak, dan budak yang diterima oleh kuil sebagai pusat kekuasaan dan simbol kemasyarakatan bangsa Sumeria (Smith, 2015).

Hal itu diceritakan oleh Darussalam selaku Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC). Cerita sejarah kehadiran pajak ini pun hasil dari risetnya yang berasal dari banyak sumber. Beberapa sumber tersebut Jane Frecknall-Hughes, The Theory, Principles and Management of Taxation: An Introduction (New York: Routledge, 2015). Stephen Smith, Taxation: A Very Short Introduction (United Kingdom: Oxford University Press, 2015). Samuel Blankson, A Brief History of Taxation (New York: Lulu Inc., 2007). Ferdinand H.M Grapperhaus, Taxes through the Ages (The Netherlands: IBFD, 2009). Anthony Arlidge dan Igor Judge, Magna Carta Uncovered (United States: Hart Publishing, 2014).

Menurut dia, penemuan dokumen sejarah tertulis di Mesopotamia telah membuktikan bahwa pajak merupakan suatu subjek yang memiliki sejarah besar dan sangat panjang, yang praktiknya telah dilakukan sejak ribuan tahun lamanya.

"Sejarah pemungutan pajak pun tidak berhenti di Mesopotamia, tetapi juga merambah ke berbagai belahan dunia dengan bentuk pemungutan yang semakin berkembang," seperti dikutip dari riset Darussalam.

Bentuk awal pemungutan pajak juga ditemukan di Mesir Kuno sejak 3000 SM atau pada saat sistem pembayaran dengan mata uang belum dikembangkan seperti sekarang ini. Pembayaran pajak di Mesir Kuno dalam bentuk barang. Secara umum pemungutan di sana tidak jauh berbeda dengan di Mesopotamia, pembayar juga dilakukan dalam bentuk bagi hasil barang produksi dan pertanian serta pemberian pelayanan atau tenaga kerja.

Pada kala itu, Mesir Kuno pun sudah menetapkan beberapa barang atau produk yang dikenakan pajak, Ada beberapa objek pajak seperti gandum, minyak goreng, peternakan, bir, hasil pertanian lainnya, penggunaan sungai Nil untuk pengangkutan barang, serta perdagangan dengan pihak asing (Blankson, 2017).

Seiring waktu berjalan, pemungutan pajak dengan cara lebih modern mulai dipraktekkan oleh bangsa Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Pemungutannya pada saat ini masih dalam bentuk barang, dan untuk beberapa transaksi tertentu seperti transaksi impor barang atau penjualan tanah sudah dilakukan dalam bentuk uang tunai.

Sejarah Pajak di Indonesia

Pemungutan pajak pun terus berkembang dan diterapkan oleh banyak negara di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sejarah pajak di Indonesia sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dan Jepang ke Nusantara. Ketika itu rakyat Indonesia mengenalnya dengan istilah upeti, pemungutan jenis pajak yang bersifat memaksa.

Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja, dan sebagai imbal baliknya maka masyarakat mendapat jaminan keamanan dan ketertiban dari raja. Pada saat itu, raja dianggap sebagai wakil Tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.

Meski begitu ada beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram mengenal sistem pembebasan pajak. Terutama pajak atas kepemilikan tanah yang biasa disebut tanah perdikan. Namun demikian memasuki era kolonialisasi mulai diberlakukan kembali.

Selama terjajah, pengenaan pajak dirasa sangat berat dan membebani. Selain monopoli aturan pengenaan pajak juga karena terjadi banyaknya penyelewengan oleh pemerintah kolonial sehingga kata pajak meninggalkan kesan negatif.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Namun demikian, setelah Indonesia merdeka babak baru sejarah pajak di Indonesia dimulai. Pada saat Sukarno-Hatta memimpin Indonesia, aturan pajak tertuang pada Pasal 23 UU Dasar 1945. Bunyinya, "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang".

Pemikiran dasar pada saat itu adalah negara harus memiliki sumber pembiayaan untuk bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di dunia. Ini menjadi babak baru sejarah pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.

Selang satu bulan kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1945 pemerintah membentuk Kementerian Keuangan dan menugaskan mengenai hal-hal yang menyangkut keuangan negara, salah satunya pajak.

Penyempurnaan aturan pajak di tanah air pun terhambat lantaran pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Hal itu dikarenakan Agresi Militer Belanda Pertama yang dibonceng oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta. Dengan begitu pemerintah belum dapat mengeluarkan UU khusus pajak meskipun pasal 23 UUD 1945 sudah mengamanatkan.

Dengan begitu pemerintah mengadopsi beberapa aturan pajak peninggalan pemerintahan kolonial untuk memutarkan roda pemerintahan. Salah satu beleid yang diadopsi adalah Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa sub organisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.

Pemerintah menerapkan sistem official assessment, yaitu pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Meski begitu, sistem tersebut tidak mengubah banyak kondisi perekonomian nasional alias Indonesia masih menjadi negara miskin.

Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Sukarno mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia. Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari pajak cenderung stagnan.

Puncaknya adalah ketika di tahun 1960-an, kala itu Sukarno gencar sekali menggalakkan proyek-proyek besar seperti pembangunan Senayan dan Monumen Nasional (Monas). Keputusan tersebut berdampak besar pada inflasi yang meroket hingga 500%, imbas lanjutannya terjadi pada rezim selanjutnya yang mulai terjadi gejolak ekonomi.

Pada era Orde Baru tepatnya tahun 1965, pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto berhasil memberi terobosan di bidang fiskal khususnya pajak. Soeharto melakukan desentralisasi pajak atas Pajak Hasil Bumi kepada pemerintah daerah dan mengubah namanya menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah). Maka dimulailah pembangunan kantor IPEDA di berbagai daerah.

Pada saat ini juga awal mula menerapkan sistem pajak yang self assessment, apalagi pemerintah berhasil menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 tentang perubahan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan menggunakan sistem self assessment.

Terobosan ini pun diterapkan oleh Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya karena terbukti efektif dalam melakukan pemungutan pajak. Hingga saat ini, pemerintah masih menerapkan sistem self assessment dalam memungut pajak. Begitulah sejarah pajak di Indonesia dan dunia.


Hide Ads