Namun demikian, setelah Indonesia merdeka babak baru sejarah pajak di Indonesia dimulai. Pada saat Sukarno-Hatta memimpin Indonesia, aturan pajak tertuang pada Pasal 23 UU Dasar 1945. Bunyinya, "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang".
Pemikiran dasar pada saat itu adalah negara harus memiliki sumber pembiayaan untuk bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di dunia. Ini menjadi babak baru sejarah pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selang satu bulan kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1945 pemerintah membentuk Kementerian Keuangan dan menugaskan mengenai hal-hal yang menyangkut keuangan negara, salah satunya pajak.
Penyempurnaan aturan pajak di tanah air pun terhambat lantaran pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Hal itu dikarenakan Agresi Militer Belanda Pertama yang dibonceng oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta. Dengan begitu pemerintah belum dapat mengeluarkan UU khusus pajak meskipun pasal 23 UUD 1945 sudah mengamanatkan.
Dengan begitu pemerintah mengadopsi beberapa aturan pajak peninggalan pemerintahan kolonial untuk memutarkan roda pemerintahan. Salah satu beleid yang diadopsi adalah Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa sub organisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.
Pemerintah menerapkan sistem official assessment, yaitu pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Meski begitu, sistem tersebut tidak mengubah banyak kondisi perekonomian nasional alias Indonesia masih menjadi negara miskin.
Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Sukarno mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia. Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari pajak cenderung stagnan.
Puncaknya adalah ketika di tahun 1960-an, kala itu Sukarno gencar sekali menggalakkan proyek-proyek besar seperti pembangunan Senayan dan Monumen Nasional (Monas). Keputusan tersebut berdampak besar pada inflasi yang meroket hingga 500%, imbas lanjutannya terjadi pada rezim selanjutnya yang mulai terjadi gejolak ekonomi.
Pada era Orde Baru tepatnya tahun 1965, pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto berhasil memberi terobosan di bidang fiskal khususnya pajak. Soeharto melakukan desentralisasi pajak atas Pajak Hasil Bumi kepada pemerintah daerah dan mengubah namanya menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah). Maka dimulailah pembangunan kantor IPEDA di berbagai daerah.
Pada saat ini juga awal mula menerapkan sistem pajak yang self assessment, apalagi pemerintah berhasil menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 tentang perubahan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan menggunakan sistem self assessment.
Terobosan ini pun diterapkan oleh Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya karena terbukti efektif dalam melakukan pemungutan pajak. Hingga saat ini, pemerintah masih menerapkan sistem self assessment dalam memungut pajak. Begitulah sejarah pajak di Indonesia dan dunia.
(erd/ara)