Lumbung Pangan Nasional Pertama di RI Bisakah Jadi Solusi?

Lumbung Pangan Nasional Pertama di RI Bisakah Jadi Solusi?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Minggu, 05 Jul 2020 08:00 WIB
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendapat tugas dari Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan program pengembangan food estate sebagai daerah yang diharapkan menjadi lumbung pangan baru di luar Pulau Jawa. Lokasi lumbung pangan baru ini direncanakan berada di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah yang juga akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020 - 2024.
Foto: Istimewa/Kementerian PUPR
Jakarta -

Pada bulan April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperingatkan para menteri Kabinet Indonesia Maju akan ancaman krisis pangan dunia di tengah pandemi virus Corona (COVID-19) seperti yang diprediksi oleh Food and Agriculture Organization (FAO).

Peringatan itu pun langsung direspons para menteri, mulai dari Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan merencanakan pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) pertama yang berlokasi di Kalimantan Tengah.

Namun, wacana lumbung pangan itu menuai kritik. Jokowi diminta melihat kembali rencana pembangunan lumbung pangan di pemerintahan periode-periode sebelumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, rencana ini sudah pernah diinisiasikan mulai dari pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto, lalu juga di periode pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jokowi sendiri pun sudah pernah mewacanakan pembangunan lumbung padi (rice estate) di Merauke yang hingga kini tak terealisasi. Dengan pengalaman tersebut, ia mengatakan proyek lumbung pangan selalu berujung pada kegagalan.

"Itu yang gambut 1 juta Ha yang dibangun Pak Harto tahun 1996-1997 . Lalu Ketapang 100 ribu Ha di masa SBY, 300 ribu Ha di Bulungan masa SBY juga, nggak ada ceritanya. Hanya tersisa beberapa belas Ha saja. Lalu di awal pemerintahan Pak Jokowi rencana pengembangan Merauke 1,2 juta Ha. Nggak ada ceritanya sampai sekarang. Semua gagal. Dalam arti semua proyek food estate sampai detik ini gagal total," kata Dwi kepada detikcom, Sabtu (4/7/2020).

ADVERTISEMENT

Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar juga mengatakan hal serupa. Bahkan, menurutnya wacana pembangunan lumbung pangan di Kalteng ini hanya menghabiskan waktu dan anggaran yang besar.

"Dulu ada lahan 1 juta Ha di Kalimantan itu kan tidak apa-apa. Berapa sih yang jadi? Ada tapi sedikit banget. Rice estate yang di Merauke, kan itu akhirnya tidak ada apa-apa juga. Jadi maksud saya daripada nanti buang-buang waktu, buang-buang uang, SDM-nya sangat minim, lebih bagus mengoptimalkan lahan petani yang sudah ada, lahan BUMN yang sudah ada tapi belum ditanami," kata Hermanto ketika dihubungi detikcom.

Tak jauh berbeda, pengamat pertanian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah juga meminta pemerintah mempertimbangkan wacana pembangunan lumbung pangan di Kalteng tersebut.

"Food estate itu bagus. Tapi jangan sampai ini gagal seperti di Merauke. Nah itu kan tidak terdengar lagi. Ini kalau di Kalimantan bagus dalam artian untuk menambah pasokan pangan, tapi perlu dipertimbangkan," tutur dia kepada detikcom.

Menurut Dwi, membangun lumbung pangan di lahan jenis rawa di Kalteng tidaklah mudah apalagi dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih mendorong program peningkatan kesejahteraan petani, dibandingkan mengeluarkan anggaran yang besar untuk membangun lumbung pangan.

"Berikan harga yang layak untuk petani. Harga pembelian pemerintah (untuk gabah) saja yang sering kami kritik, hanya naik dari Rp 3.700/kg ke Rp 4.200/kg. Padahal biaya produksi di usaha tani untuk 1 kg gabah kering panen itu sudah Rp 4.523/kg, ini hasil kajian AB2TI di bulan April lalu," papar Dwi.

Ia mengatakan, jika petani mendapatkan harga yang layak untuk hasil panennya, maka secara otomatis produktivitasnya akan meningkat.

"Kalau petani ini mendapatkan harga yang layak dengan hasil taninya, maka peningkatan produksi sudah otomatis. Karena petani jadi bergairah untuk bertanam, bergairah untuk meningkatkan produksi. Jadi pengambilan kebijakannnya salah," imbuh Dwi.

Dihubungi terpisah, Hermanto mengkritik rencana pemerintah menugaskan BUMN (PT Rajawali Nusantara Indonesia/RNI) untuk turut menggarap lumbung pangan, sehingga basisnya menjadi korporasi.

"Coba dicek lah ke Vietnam, ke Malaysia, ada korporasi atau BUMN yang menanam pangan atau padi? Nggak ada. Pertanian itu kan bahasa Inggrisnya agriculture. Jadi culture menanam padi itu, even di barat menanam gandum itu petani perorangan. Bukan korporasi. Jadi korporasi itu bermain di sistem logistiknya," ungkap Hermanto kepada detikcom.

Ia menyarankan agar pemerintah mengutamakan optimalisasi lahan persawahan yang sudah ada milik petani, dibandingkan membangun lumbung pangan nasional yang anggarannya cukup besar.

"Masyarakat sendiri banyak yang punya lahan tapi nggak bisa dia tanam karena nggak ada uangnya. Nah itu dioptimalkan saja yang belum ditanami. Itu lebih bermanfaat daripada mengucurkan miliaran bahkan triliunan tapi hasilnya nggak jadi. Kan sayang anggarannya sudah dikeluarkan tapi nggak berhasil," terang Hermanto.

Sementara itu, Rusli menilai langkah tepat untuk memperbaiki persoalan pertanian di Indonesia ialah melakukan diversifikasi pangan, ketimbang membangun lumbung pangan yang juga nantinya ditanami padi.

"Food estate itu bagus. Tapi jangan sampai ini gagal seperti di Merauke. Nah itu kan tidak terdengar lagi. Ini kalau di Kalimantan bagus dalam artian untuk menambah pasokan pangan. Tapi perlu dipertimbangkan apa yang mau ditanam? Beras lagi?" urainya ketika dihubungi detikcom secara terpisah.

Rusli menegaskan, kunci menyelesaikan persoalan pangan adalah diversifikasi, sehingga masyarakat mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat, dan beralih mengonsumsi jagung, ubi, singkong, sagu, dan sebagainya.

"Kalau produksi di Kalimantan hanya beras menurut saya hanya sia-sia, karena proses diversifikasi pangan nggak akan jalan," tutup Rusli.



Simak Video "Video Food Estate Bakal Dilanjutkan, Mentan: Untuk Masa Depan Negara"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads