Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah mewaspadai dampak resesi ekonomi yang dialami Singapura. Dirinya akan menjaga kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu tingkat konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi.
Dia menceritakan, resesi di Negeri Singa itu dikarenakan ekonominya sangat bergantung pada perdagangan internasional. Di saat COVID-19 melanda banyak negara, maka perdagangan pun ikut terhenti sehingga hal itu berdampak besar bagi perekonomiannya.
"Domestic demand-nya tidak bisa mensubstitusi. Oleh karena itu penurunan dari Singapura sangat besar, karena memang tidak terjadi perdagangan internasional yang selama ini menjadi engine of growth-nya," kata Sri Mulyani di gedung DPR, Jakarta, Rabu (15/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 3 Dampak Nyata Resesi Ekonomi |
Kejadian yang menimpa ekonomi Singapura pun menjadi perhatian bagi Sri Mulyani meski mesin utama penggerak perekonomian Indonesia berbeda. Agar ekonomi nasional tidak tertular resesi yang melanda Singapura, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini akan melakukan berbagai cara untuk menjaga tingkat konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi. Salah satu upaya melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang menyasar enam klaster sekaligus.
"Kita tentu waspadai, karena bagaimanapun juga Indonesia engine of growth kita konsumsi, investasi, dan ekspor. Hari ini pemerintah menggunakan seluruh mekanisme anggarannya untuk mensubstitusi pelemahan di sisi konsumsi dan di sisi investasi maupun ekspor," ujarnya.
Sri Mulyani berharap program penempatan dana pemerintah kepada perbankan bisa menggerakkan ekonomi secara nyata, sehingga ekonomi nasional bisa terhindar dari jurang resesi.
Meski demikian, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah justru menilai resesi tidak bisa terhindarkan. Dia memperkirakan ekonomi Indonesia akan kembali minus di kuartal III-2020.
"Kuartal III diperkirakan akan kembali minus, artinya kita akan benar-benar masuk ke periode resesi," ujarnya kepada detikcom, Rabu (15/7/2020).
Namun Piter menegaskan resesi sebenarnya merupakan hal yang wajar dalam sebuah siklus ekonomi. Ibarat roda, resesi adalah posisi ketika ekonomi sedang di bawah.
Apalagi jika melihat kondisi saat ini, semua negara mengalami resesi. Penyebabnya juga bukan karena kebijakan pemerintahannya yang salah, melainkan karena pandemi.
Nah yang harus ditakutkan justru berkembangnya resesi ini menjadi sebuah krisis seperti depresi. Maka, jika IMF bilang akan lebih parah dari the Great Depression, maka ini patut diwaspadai.
Untuk menahan kelanjutan resesi menjadi depresi tentu harus ada yang dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan menjaga dunia usaha. Pemerintah pun sudah menyiapkan sederet stimulus untuk dunia usaha.
Sementara Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menerangkan, berdasarkan sejarah, Indonesia tercatat sudah mengalami 2 kali resesi, yaitu pada saat tahun 1960-an dan tahun 1998.
Pada periode 1960-an, perekonomian Indonesia dianggap resesi seiring dengan kontraksi ekonomi yang terjadi pada tahun 1962-1963 diikuti oleh inflasi yang sangat tinggi atau hyperinflation. Sementara pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami resesi sejalan dengan kontraksi ekonomi pada kuartal I-1998 hingga kuartal I-1999.
"Adapun penyebab resesi ini didahului oleh krisis keuangan di Thailand yang kemudian berdampak pada pelemahan rupiah dan mengakibatkan kenaikan utang luar negeri Indonesia. Melompatnya tingkat utang luar negeri perusahaan Indonesia menyebabkan gagal bayar pada sektor perbankan, dan akhirnya berdampak sistemik kepada perekonomian Indonesia saat itu," tambahnya.
Sementara kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada tahun 1998. Krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand Bath juga diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak prudent karena sebagian utang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai.
Penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta utang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Krisis utang luar negeri swasta tersebut yang mendorong tekanan pada rupiah dimana tingkat depresiasi rupiah mencapai sekitar 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
"Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar. Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah," terangnya.
(hek/eds)