Senjata Utama Pemerintah Tangkal Dampak Resesi

Senjata Utama Pemerintah Tangkal Dampak Resesi

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Senin, 10 Agu 2020 14:12 WIB
Pengunjung berada di sekitar layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Kamis (13/2). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) hari ini pukul 12.00 menurun-0,67% ke posisi 5,873,30. Pergerakan IHSG ini masih dipengaruhi oleh sentimen atas ketakutan pasar akan penyebaran wabah virus corona.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Pemerintah tengah berupaya mencegah tekanan dalam perekonomian agar Indonesia tak masuk dalam jurang resesi.

Sekretaris Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede mengatakan, dalam kondisi seperti ini, kunci agar ekonomi Indonesia bisa bangkit dan keluar dari jurang resesi adalah anggaran pemerintah.

"Memang dalam situasi krisis seperti ini bisnis yang berfungsi secara optimal adalah bisnisnya pemerintah. Bisnis pemerintah adalah fiskal. Kebijakan fiskallah yang sangat berperan dan itu di mana-mana dilakukan seperti itu," katanya dalam teleconference, Senin (10/8/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mengatakan, swasta saat ini dalam kondisi hati-hati dalam membelanjakan uangnya. Mereka, kata Raden, cenderung menunda.

"Oleh karena itu, fiskal policy belanja pemerintah menjadi yang utama. Sudah akan digelontorkan Rp 695,2 triliun program pemulihan ekonomi nasional di samping program kementerian lembaga. Defisit kita kan hampir 6,3% PDB ini termasuk yang sangat besar sekali," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Kemudian, dia bilang, sektor usaha yang masih bisa diandalkan saat ini ialah komunikasi, makanan minuman, perdagangan online, dan obat-obatan.

"Jadi itu yang kelihatannya bisa tetap kita dorong. Karena biar bagaimana pun orang ingin beli barang-barang yang utama," ungkapnya.

Pada kesempatan itu, Raden menerangkan, resesi ialah kondisi di mana ekonomi kontraksi dua kuartal berturut-turut. Dia bilang, dampak resesi ialah penciptaan tenaga kerja rendah hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Biasanya itu dicoba dihindari kenapa, karena dia punya dampak psikologis yang tidak mudah, resesi, penciptaan tenaga kerja juga sangat rendah, bahkan gelombang PHK yang besar sekali. Jadi kata-kata R (resesi) itu yang kita coba hindari sekarang ini," terangnya.




(acd/zlf)

Hide Ads