RI Perlu Genjot Ekspor ke Luar Negara Tujuan Utama, Ini Alasannya

RI Perlu Genjot Ekspor ke Luar Negara Tujuan Utama, Ini Alasannya

Soraya Novika - detikFinance
Rabu, 12 Agu 2020 14:11 WIB
Setelah beberapa bulan mengalami defisit alias tekor, pada Mei 2019 posisi neraca perdagangan berbalik menjadi surplus.
Ilustrasi/Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Diversifikasi ekspor ke luar negara tujuan utama atau ke nontradisional sangat dibutuhkan di tengah pandemi virus Corona atau COVID-19. Perluasan negara tujuan bisa menjadi peluang mendongkrak kinerja ekspor.

Guru Besar Ekonomi UGM Mudrajad Kuncoro mengatakan bahwa ekspor Indonesia selama ini terkonsentrasi di sejumlah negara terutama China, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Jepang. Padahal potensi ekspor di negara lainnya masih terbuka lebar.

"China masih yang terbesar sekitar 17%. Pertanyaannya, bagaimana ekspor ke negara non tradisional?" kata Mudrajad dalam diskusi virtual, Rabu (12/8/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mudrajad menambahkan, berdasarkan data Kementerian Perdagangan dalam kurun 2019-2020, upaya diversifikasi tujuan ekspor mulai berjalan. Dari data tersebut ekspor tujuan Mongolia mengalami pertumbuhan cukup signifikan, yaitu mencapai 450,29%.

Pertumbuhan ekspor nontradisional lainnya yang juga melonjak cukup signifikan adalah ke Zimbabwe sebesar 353,73%, Afrika Tengah sebesar 315,9%, Sao Tome & Principe 279,4%, dan Bulgaria sebesar 222,27%.

ADVERTISEMENT

Negara-negara yang sebelumnya tak banyak dilirik ini, justru pertumbuhannya cukup signifikan. Angka ini menunjukkan bahwa pasar di negara-negara kecil memiliki potensi yang cukup besar.

"Jadi, kalau di pasar kecil sebenarnya kita mendominasi, kita bisa menjadi raja di situ," imbuhnya.

Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian, ada beberapa pemicu yang melatarbelakangi keputusan tersebut.

"Semenjak 2013 akhir 2014 harga komoditas itu mulai berantakan mulai hancur dan anjlok sehingga ekspor Indonesia juga akhirnya secara nominal juga jatuh walaupun secara kuantitas itu masih cukup bertahan, tapi, karena Indonesia mengalami defisit perdagangan, maka di awal-awal pemerintahan Jokowi itu tidak heran rupiah itu babak belur," ujar Dzulfian.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Ekspor Indonesia sempat surplus terutama di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, hal itu terjadi murni karena terpengaruh oleh faktor eksternal perdagangan internasional.

Saat itu, terjadi yang namanya ledakan komoditas, yang kemudian menguntungkan bagi komoditas ekspor Indonesia. Namun begitu ledakan berakhir, harga komoditas ekspor Indonesia jadi hancur dan rupiah ikut melemah.

Ditambah lagi, perekonomian pasar tradisional tujuan ekspor seperti China, AS, Eropa, dan Jepang mulai menunjukkan pelemahan.

"Karena juga kita ketahui ledakan komoditas ini berakhir, pasar utama Indonesia ketika itu dan hingga saat ini yaitu China itu mulai melemah perekonomiannya. Nah ketika perekonomian China melemah, maka permintaan terhadap barang-barang Indonesia itu juga akan menurun, nah itu yang membuat harga-harga komoditas juga anjlok," tambahnya.

Karena tak mau terus-terusan terpengaruh pada faktor eksternal, pemerintah mengubah strategi perdagangan internasionalnya. Kebetulan, pada April 2020 lalu diperingati Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-65 di Bandung.

Saat itu, Jokowi secara terang-terangan menyampaikan ketertarikannya pada pasar nontradisional dan mengajak negara Asia-Afrika lainnya untuk memperkuat kerja samanya.

"Jokowi berkata ketika negara-negara kaya atau north atau negara utara yang hanya sekitar 20% penduduk dunia menghabiskan 70% sumber daya bumi maka ketidakadilan menjadi nyata, ketika ratusan orang di belahan bumi sebelah utara atau north menikmati hidup super kaya, sementara 1,2 miliar penduduk dunia di sebelah selatan atau south tidak berdaya dan berpenghasilan kurang dari US$ 2 per hari, maka ketidakadilan semakin kasat mata. Nah inilah background kenapa Jokowi ingin mendorong south-south cooperation antara Asia dan Afrika atau menarget pasar-pasar non tradisional," pungkasnya.



Simak Video "Video Bahlil Sebut RI Siap Ekspor Listrik ke Singapura, Total Investasi Rp 162 T"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads