Ekspor Indonesia sempat surplus terutama di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, hal itu terjadi murni karena terpengaruh oleh faktor eksternal perdagangan internasional.
Saat itu, terjadi yang namanya ledakan komoditas, yang kemudian menguntungkan bagi komoditas ekspor Indonesia. Namun begitu ledakan berakhir, harga komoditas ekspor Indonesia jadi hancur dan rupiah ikut melemah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambah lagi, perekonomian pasar tradisional tujuan ekspor seperti China, AS, Eropa, dan Jepang mulai menunjukkan pelemahan.
"Karena juga kita ketahui ledakan komoditas ini berakhir, pasar utama Indonesia ketika itu dan hingga saat ini yaitu China itu mulai melemah perekonomiannya. Nah ketika perekonomian China melemah, maka permintaan terhadap barang-barang Indonesia itu juga akan menurun, nah itu yang membuat harga-harga komoditas juga anjlok," tambahnya.
Karena tak mau terus-terusan terpengaruh pada faktor eksternal, pemerintah mengubah strategi perdagangan internasionalnya. Kebetulan, pada April 2020 lalu diperingati Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-65 di Bandung.
Saat itu, Jokowi secara terang-terangan menyampaikan ketertarikannya pada pasar nontradisional dan mengajak negara Asia-Afrika lainnya untuk memperkuat kerja samanya.
"Jokowi berkata ketika negara-negara kaya atau north atau negara utara yang hanya sekitar 20% penduduk dunia menghabiskan 70% sumber daya bumi maka ketidakadilan menjadi nyata, ketika ratusan orang di belahan bumi sebelah utara atau north menikmati hidup super kaya, sementara 1,2 miliar penduduk dunia di sebelah selatan atau south tidak berdaya dan berpenghasilan kurang dari US$ 2 per hari, maka ketidakadilan semakin kasat mata. Nah inilah background kenapa Jokowi ingin mendorong south-south cooperation antara Asia dan Afrika atau menarget pasar-pasar non tradisional," pungkasnya.
Simak Video "Video Bahlil Sebut RI Siap Ekspor Listrik ke Singapura, Total Investasi Rp 162 T"
[Gambas:Video 20detik]
(ara/ara)