Pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2021 mencapai 4,5%-5,5%. Sesuai yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pidato Penyampaian RUU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Nota Keuangan pekan lalu.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi PAN Eddy Soeparno menilai angka proyeksi tersebut cukup optimistis. Menurut dia skenario tersebut sesuai dengan perhitungan Indonesia berada di teritori negatif saat ini dan belum ada kejelasan kapan pandemi COVID-19 akan mereda.
"Jika Indonesia mampu memproduksi vaksin anti COVID-19 secara massal di akhir tahun ini dan kita kembali ke kehidupan yang relatif normal, saya kira target pertumbuhan 5-5.5% dapat tercapai di tahun 2021," kata dia dalam siaran pers, Minggu (17/8/2020)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan proyeksi ini cukup optimis karena pemerintah tetap menggenjot stimulus fiskal di tahun yang akan datang dan kehadiran vaksin akan meningkatkan keyakinan konsumen untuk mulai melakukan belanja untuk rumah tangga, hiburan sampai bepergian.
"Jika kapasitas produksi dan rantai pasok global berangsur-angsur pulih, kegiatan eksporpun dapat meningkat pesat karena banyak barang yang sedianya siap di ekspor mendadak di stop. Bukan semata-mata karena permintaan di negara tujuan turun, namun juga karena impor bahan baku masih terganggu dan transportasi antar negara masih belum pulih," lanjut Eddy.
Berkaitan dengan pembiayaan anggaran untuk membiayai defisit APBN senilai Rp 971,2 triliun, Eddy menyebut kondisi ekonomi Indonesia seperti rumah tangga yang dihantam krisis penghasilan.
"Jika kita sedang kekurangan uang, ada beberapa pilihan yang kita miliki, Pertama Menjual barang/aset, Kerja Berhemat dan Ketiga Pinjam uang. Nah, saat ini Indonesia tidak mungkin melakukan penjualan aset atau IPO dari sejumlah BUMN. Pasarnya sedang tidak kondusif," jelas dia.
Menurutnya saat ini Indonesia juga tidak bisa berhemat karena pemerintah justru harus memberikan stimulus fiskal besar-besaran agar masyarakat terjamin kondisi sosialnya dan ekonomi tetap bergerak.
"Akhirnya tinggal opsi untuk menarik utang baru, yang sesungguhnya bukan hal yang pantang dilakukan, sepanjang pricing-nya kompetitif, digunakan secara tepat sasaran dan bisa dipertanggungjawabkan," kata dia.
Eddy mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 ini merupakan variabel yang punya daya rusak yang besar terhadap perekonomian dan sulit diprediksi berakhirnya.
"Jika penemuan dan produksi vaksinnya berlarut-larut kita perlu bersiap untuk melakukan lebih dari satu kali perubahan APBN 2021," kata dia.
(kil/eds)