Komisi VI DPR RI hari ini memanggil para ekonom senior untuk menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU). Rapat ini digelar Komisi VI untuk mengambil pandangan para ekonom dan nantinya digunakan sebagai bahan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah.
1. Faisal Basri
Ekonom yang pertama kali menyampaikan pandangannya akan kebijakan pemerintah di tengah pandemi adalah Ekonom Senior Faisal Basri. Salah satu kebijakan yang dikritik Faisal adalah upaya pemerintah menaikkan konsumsi dan produktivitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyinggung perjalanan dinas yang dilakukan menteri-menteri ekonomi ke Bali pada 21-22 Agustus 2020 lalu dalam rangka rapat koordinasi tingkat menteri (RKTM). Menurutnya, jika pemerintah ada anggaran lebih sebaiknya digelontorkan langsung ke sektor pariwisatanya dalam bentuk uang tunai.
"Yang turun itu kan di restoran dan hotel, nah cek oleh pemerintah, di restoran dan hotel itu berapa persen konsumsinya? Nah dongkrak itu. Tapi jangan dengan cara menteri ramai-ramai liburan ke Bali, bukan itu. Kalau masih ada uang kasih ke rakyat untuk belanja, jadi nggak usah pemerintah yang spending untuk mempercepat itu," kata Faisal di ruang rapat Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Ia juga menilai fokus pemerintah lebih kepada pencegahan resesi. Bahkan, ia sempat menyinggung perbedaan definisi resesi dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Perkiraan saya minus 3% di kuartal III-2020 ini. Tapi kalau kata Pak Airlangga itu sudah nggak resesi, jadi Menko saja pemahaman tentang resesinya nol besar. Kata Menko kalau kuatal II-2020 5,32% minusnya, kuartal III-2020 minusnya turun itu sudah nggak resesi. Komandan ekonominya nggak mengerti resesi," tutur Faisal.
Meski begitu, menurut Faisal pemerintah sebaiknya tak hanya fokus pada pencegahan resesi, tapi lebih mengutamakan pengendalian penyebaran COVID-19.
"Kita belum resesi. Oleh karena itu saya katakan jangan target kita tidak resesi di kuartal III-2020. Targetnya sampai September benahi virus, sehingga kuartal III-2020 biarkan minus," urainya.
Dengan fokus pada penanganan COVID-19, ia meyakini perekonomian akan pulih kembali.
"(Grafik) huruf W ini ngeri, seperti Iran yang makin tidak mampu mengendalikan, karena dia sudah masuk gelombang 3. Kita satu pun belum. Nah jangan sampai. Akibatnya apa? Kita solid 2021, tumbuhnya smooth. That's the best way, believe me. Dulu-dulu bapak-ibu nggak usah percaya saya. Ini sunnatullah, nggak ada yang bisa melawan sunatullah. Oleh karena itu semua itu harus didasari oleh scientific dan data, tapi pemerintah nggak mau," tutur Faisal.
2. Yanuar Rizky
Jika Faisal dari sisi anggaran pemerintah untuk penanganan dampak COVID-19, ekonom Yanuar Rizky mengkritik pemerintah dari sisi penanganan ancaman krisis pangan.
Ia menilai, langkah pemerintah untuk membangun lumbung pangan nasional atau food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) adalah jangka panjang. Sementara, untuk pandemi ini dibutuhkan program yang bisa cepat terealisasi.
Misalnya mengalihkan anggaran food estate untuk memperbaiki saluran irigasi di Pulau Jawa, karena sebagian besar sawah di Jawa masih bergantung pada air hujan.
"Kenapa nggak memperbaiki jalur irigasi di Jawa? Kenapa nggak diperbaiki dulu di Jawa? Sehingga orang-orang di situ, dia bekerja di situ, dia terdampak, produktivitas menurut saya pasti naik kalau dia tidak tadah hujan," tegas Yanuar.
Selain itu, dari total petani miskin atau gurem juga lebih banyak di Jawa. Ia pun mendesak pemerintah untuk lebih mempertimbangkan proyek ini.
"Kalau petani gurem di Jawa nggak dikasih bantuan, apakah nggaK bahaya? Jadi kalau menurut saya kalau memang isunya ingin menaikkan produksi beras, kenapa nggak kita di perbaiki di Jawa, Sumatera, dan Papua khususnya petani gurem. Sehingga petani eksisting ini dibantu," jelasnya.