Pandemi COVID-19 menimbulkan dilema bagi pemerintah seluruh negara saat ini. Mereka dihadapkan pilihan antara memilih melindungi kesehatan masyarakat atau melindungi ekonomi.
Banyak negara memilih untuk trade-off dalam mengatasi dilema itu, atau mengorbankan pengawasan ketat atas kesehatan demi mendorong ekonomi.
Indonesia termasuk salah satunya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutnya sebagai gas dan rem. Tetapi apakah asumsi ini benar?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip laman Our World in Data, cara awal untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan melihat bagaimana dampak kesehatan dan ekonomi dari pandemi dibandingkan di berbagai negara sejauh ini.
Apakah negara dengan tingkat kematian yang lebih rendah mengalami penurunan yang lebih besar?
Membandingkan angka kematian akibat COVID-19 dengan data PDB terbaru, justru terlihat sebaliknya bahwa negara-negara yang berhasil melindungi kesehatan penduduknya saat pandemi umumnya juga bisa melindungi perekonomiannya.
Menurut data negara yang mengalami kemerosotan ekonomi sangat parah di antaranya Spanyol (-22,1%), Inggris (-21,7%), dan Tunisia (21,6%). Catatan itu adalah 4 sampai 5 kali lebih besar daripada rekor penurunan kuartalan lainnya untuk negara-negara tersebut.
Namun, di negara lain, dampak ekonominya jauh lebih kecil. Di Taiwan, PDB pada kuartal II-2020 kurang dari 1% lebih rendah daripada periode yang sama pada tahun 2019. Finlandia, Lituania, dan Korea Selatan mengalami penurunan PDB sekitar 5%. Tidak ada tanda-tanda tarik-ulur ekonomi dan kesehatan, justru sebaliknya.
Apakah negara-negara yang mengalami penurunan ekonomi terbesar memiliki kinerja yang lebih baik dalam melindungi kesehatan masyarakatnya? Tidak juga.
Berlanjut ke halaman berikutnya.