Jakarta -
Ekonomi Indonesia dipastikan mengalami resesi di kuartal III-2020 ini. Pada kuartal II-2020, ekonomi Indonesia sudah terkontraksi hingga minus 5,32%. Di kuartal III-2020 ini, Kementerian Keuangan memproyeksi ekonomi Indonesia akan kembali terkontraksi di antara minus 1% sampai minus 2,9%.
Namun, jika kontraksi ekonomi itu berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, maka yang dihadapi bukan lagi resesi, melainkan depresi ekonomi. Berikut 5 hal yang perlu diwaspadai soal depresi ekonomi:
1. Tanda-tanda Depresi Ekonomi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menerangkan, tanda-tanda dari depresi ialah tren pertumbuhan ekonomi yang terus menurun. Jika setelah resesi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kontraksi, dan minusnya semakin besar, maka baru disebut depresi.
"Pertama kan resesi dulu, jadi pengertian negara lain itu tidak harus negatif, tetapi dia dalam posisi pertama dia positif, tapi kuartal kedua dia turun, masih positif tapi pertumbuhannya masih rendah. Nah di kuartal ketiga turun lagi, bahkan negatif. Nah berarti kan yang dilihat trennya yang turun dua kuartal berturut-turut. Ini yang terjadi di kita kemungkinannya adalah memang kalau sekarang sudah resesi dari kuartal pertama, kedua, dan ketiga. Itu yang saya kira jauh lebih clear dari pemikiran itu," papar Tauhid ketika dihubungi detikcom, Rabu (23/9/2020).
2. Dampak Ngeri Depresi
Tauhid mengatakan, jika Indonesia mengalami depresi, maka dampak yang bisa dilihat adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih massive, dan tingkat pengangguran meningkat drastis.
"Terburuknya di 2021 bisa sampai angka 14 juta orang masuk di kelompok pengangguran. Jadi kalau ekonomi turun kan otomatis pendapatan masyarakat turun. Dan dampak terburuknya adalah PHK," papar dia.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal membeberkan dampak lain dari depresi ekonomi.
"Kalau depresi, kalau bertahun-tahun tidak pulih, ya berarti karena dia semakin panjang masa kontraksinya itu berarti dia semakin luas dampa negatifnya. Misalnya penurunan penjualan, penurunan keuntungan, makin banyak yang menganggur, yang miskin," tutur Faisal kepada detikcom.
3. Biar Nggak Depresi Ekonomi, Harus Apa?
Tauhid mengatakan, kunci utamanya adalah mendongkrak konsumsi, baik di sisi masyarakat maupun pemerintah.
"Begitu juga depresi, karena Indonesia basisnya konsumsi, 58% terhadap PDB. Ya situasi begini kan tidak bisa berharap bahwa ekspor-impor dan investasi normal, ya jalannya konsumsi harus dipertahankan," kata Tauhid.
Di sisi pemerintah, ia menekankan bahwa belanja dari APBN harus direalisasi dengan cepat. Caranya ialah mengeluarkan anggaran untuk proyek infrastruktur yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Dengan cara itu, menurutnya masyarakat akan punya pendapatan, sehingga bisa meningkatkan daya beli untuk mendongkrak konsumsi.
Selain konsumsi, upaya lain yang tak kalah penting adalah kepatuhan melaksanakan protokol kesehatan pencegahan virus Corona (COVID-19) yang selama ini mengganggu aktivitas ekonomi.
Sementara itu, Faisal mengatakan untuk menghindari kondisi yang lebih buruk pada ekonomi Indonesia ialah mempercepat realisasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Sayangnya, per 16 September 2020 realisasinya baru mencapai Rp 254,4 triliun atau 36,6% dari pagu Rp 695,2 triliun.
Program paling utama yang harus segera direalisasi adalah penanganan masalah kesehatan yang dianggarkan Rp 87,55 triliun, namun realisasinya baru Rp 18,45 triliun.
"Jadi artinya sangat tidak bisa dimengerti kalau kemudian anggarannya masih kecil, penyerapannya masih kecil. Padahal banyak yang masih bisa dilakukan untuk penyerapan itu. Mulai dari rapid test gratis, atau bagi-bagi masker gratis kepada masyarakat untuk menghindari penyebaran yang lebih jauh. Itu saya pikir yang paling ampuh untuk menghindari dampak ke ekonomi," papar Faisal.
4. Hal yang Tak Boleh Dilakukan Jika Terjadi Resesi, atau Depresi
Jika resesi atau bahkan depresi terjadi, ada beberapa hal yang kemungkinan besar dilakukan masyarakat, namun sebenarnya tidak tepat, hal itu ialah menahan konsumsi untuk menghemat uang.
Menurut Tauhid, jika masyarakat menahan konsumsinya, justru pemulihan ekonomi Indonesia semakin berat. Pasalnya, konsumsi rumah tangga merupakan 'tulang punggung' dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Begitu juga pemerintah, yang pada intinya harus mendorong masyarakat untuk konsumsi, caranya dengan memberikan bantuan sosial (Bansos), atau stimulus lain untuk mendongkrak daya beli.
Faisal pun berpendapat sama. Ia juga meminta agar masyarakat tidak panik menyimpan uangnya ketika ada resesi, atau bahkan depresi. Pasalnya, hal itu justru akan memperburuk kondisi ekonomi.
5. Apakah Ekonomi RI Bakal Depresi?
Faisal melihat di Indonesia sendiri belum ada tanda-tanda depresi. Hal itu dibuktikan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang membaik, meski masih dalam area negatif.
"Enggak sih kalau depresi. Kalau depresi berarti negatif selama bertahun-tahun. Kalau nanti kuartal IV-2020 kalaupun kontraksi kan berarti baru 3 kuartal. Berarti kan belum. Apalagi melihat trennya. Kalau kami prediksi trennya itu walaupun ada potensi kontraksi, tapi saya rasa yang terdalam sudah kita lewati, di kuartal II-2020. Jadi kuartal III-2020 membaik, trennya di kuartal IV-2020 juga akan lebih baik, walaupun masih ada potensi negatif lagi," jelas Faisal.
Tauhid juga mengatakan hal serupa. Dengan kontraksi hingga 5,32% di kuartal II-2020, lalu di kuartal III-2020 proyeksi Kemenkeu ialah minus 1% sampai minus 2,9%, maka kemungkinan besar tren pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik, meski masih mengalami kontraksi.
Tauhid mengatakan, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik melihat konsumsi masyarakat masih relatif berjalan, meski lebih lemah dibandingkan kondisi sebelum pandemi.