Beda Depresi dengan Resesi, dan Imbasnya Jika Terjadi ke RI

Beda Depresi dengan Resesi, dan Imbasnya Jika Terjadi ke RI

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 24 Sep 2020 07:20 WIB
Akibat wabah COVID-19, resesi hampir pasti dialami Indonesia. Penurunan aktivitas ekonomi nasional ini akan berdampak pada PHK dan kemiskinan.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Resesi ekonomi tak bisa lagi dihindari. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sudah memastikan ekonomi Indonesia akan kembali mengalami kontraksi di kuartal III-2020 ini. Kementerian Keuangan sudah mengeluarkan proyeksi di minus 1% hingga minus 2,9%.

Setelah resesi, ancaman selanjutnya adalah depresi. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menerangkan, depresi adalah kondisi di mana suatu negara mengalami kontraksi pada pertumbuhan ekonominya yang berkepanjangan dan semakin dalam.

"Kalau dia sampai dua kuartal berturut-turut, misalnya year on year dia negatif, dia masuk resesi. Nah tapi kalau berkepanjangan, sampai bertahun-tahun kontraksinya, itu yang disebut depresi," jelas Faisal kepada detikcom, Rabu (23/9/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan, tanda-tanda dari depresi ialah tren pertumbuhan ekonomi yang terus menurun. Apabila sesudah resesi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kontraksi dan minusnya semakin besar, maka baru disebut depresi.

"Pertama kan resesi dulu, jadi pengertian negara lain itu tidak harus negatif, tetapi dia dalam posisi pertama dia positif, tapi kuartal kedua dia turun, masih positif tapi pertumbuhannya masih rendah. Nah di kuartal ketiga turun lagi, bahkan negatif. Nah berarti kan yang dilihat trennya yang turun dua kuartal berturut-turut. Ini yang terjadi di kita kemungkinannya adalah memang kalau sekarang sudah resesi dari kuartal pertama, kedua, dan ketiga. Itu yang saya kira jauh lebih clear dari pemikiran itu," papar Tauhid.

ADVERTISEMENT

Tauhid menuturkan, jika Indonesia mengalami depresi, maka imbas yang bisa dilihat adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih masif dan tingkat pengangguran meningkat drastis.

"Terburuknya di 2021 bisa sampai angka 14 juta orang masuk di kelompok pengangguran. Jadi kalau ekonomi turun kan otomatis pendapatan masyarakat turun. Dan dampak terburuknya adalah PHK," terang Tauhid.

Menambahkan Tauhid, Faisal mengatakan depresi juga berimbas pada kinerja dunia usaha seperti pendapatan menurun, dan sebagainya.

"Kalau depresi, kalau bertahun-tahun tidak pulih, ya berarti karena dia semakin panjang masa kontraksinya itu berarti dia semakin luas dampak negatifnya. Misalnya penurunan penjualan, penurunan keuntungan, makin banyak yang menganggur, yang miskin," tutur Faisal.

Namun, kedua ekonom Tanah Air itu sepakat tanda-tanda depresi belum terlihat di Indonesia.

"Ya nggak, itu ada arus balik. Kalau dia naik, kalau sampai menuju 0 saja nggak disebut nol itu. Depresi itu ketika kontraksinya mendalam terutama di kuartal IV-2020 nanti," tegas Tauhid.

Faisal menambahkan, depresi itu akan terjadi ketika pertumbuhan ekonomi suatu negara mengalami kontraksi lebih dari satu tahun. Namun, di Indonesia sendiri kemungkinan besar trennya akan terus membaik, bukan semakin mendalam.

"Enggak sih kalau depresi. Kalau depresi berarti kalau sudah bertahun-tahun. Kalau nanti kuartal IV-2020 kalaupun kontraksi kan berarti baru 3 kuartal. Berarti kan belum. Apalagi melihat trennya. Kalau kami prediksi trennya itu walaupun ada potensi kontraksi, tapi saya rasa yang terdalam sudah kita lewati, di kuartal II-2020. Jadi kuartal III-2020 membaik, trennya di kuartal IV-2020 juga akan lebih baik, walaupun masih ada potensi negatif lagi," tandas Faisal.



Simak Video "3 Tahun Hidup Sebatang Kara, Latifah Dievakuasi Polisi"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads