2. Kritik soal penanaman modal
Yang juga dia soroti adalah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. RUU Omnibus Law menghapus ketentuan tentang produksi senjata dan peralatan perang yang tertutup bagi penanaman modal asing. Artinya, terbuka peluang penanaman modal asing pada industri pertahanan keamanan nasional.
Masih di pasal 12 tersebut, RUU Ciptaker disebutnya telah menghapus ketentuan tentang bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dengan persyaratan. Ketentuan tersebut selama ini melindungi UMKM dari penguasaan usaha bermodal besar, karena pemilik modal asing dibatasi di usaha tanaman tebu, budidaya ikan, pengrajin kayu kecil dan usaha kecil lainnya.
Kini persyaratan itu dihapus, sehingga menurutnya hilang sudah perlindungan untuk UMKM akibat hilangnya bidang usaha yang khusus dicadangkan bagi UMKM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketidakadilan dalam penerapan insentif juga diungkapnya tercermin dalam RUU Ciptaker yang mengubah UU Penanaman Modal, Pasal 18 ayat 13 huruf k. RUU Ciptaker mensejajarkan antara UMKM, Industri yang menjaga kelestarian lingkungan, dan Industri yang berada di daerah terpencil, dengan bisnis pariwisata diskotik, kelab malam dan panti pijat.
Lewat perubahan dalam RUU Cipta Kerja ini, dia menjelaskan ada pemberian insentif fiskal dan perpajakan bagi investor yang menanamkan modal untuk industri diskotek, kelab malam dan panti pijat.
"Ditambahkannya kriteria 'pengembangan usaha pariwisata' sebagai kriteria usaha yang mendapat fasilitas dari pemerintah, berpotensi masuknya usaha diskotik, karaoke dan kelab malam sebagai usaha yang mendapat fasilitas dalam penanaman modal, sebagaimana kategori pariwisata dalam Permen Pariwisata No.10/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik," ujarnya.
3. Kritik soal lembaga pengelola investasi
Dia melanjutkan, Bab yang paling krusial dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah Bab 10 tentang Investasi Pemerintah Pusat yang melahirkan lembaga baru bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Menurutnya ada potensi hilangnya hak pengelolaan negara atas aset-aset dan kekayaan negara dengan berubahnya frasa 'aset negara' menjadi 'aset lembaga' dan frasa 'kerugian negara' menjadi "kerugian lembaga".
"Sehingga ketika aset negara (termasuk didalamnya aset BUMN dan kekayaan alam bangsa) dipindahtangankan oleh Lembaga Pengelola Investasi (LPI), aset tersebut tidak lagi disebut sebagai aset negara, tetapi aset lembaga," paparnya.
Bila dalam melaksanakan tugasnya, LPI tidak dapat mengelola investasinya dengan baik ataupun mengalami kejadian luar biasa yang tidak mampu diprediksi sebelumnya, menurutnya negara dapat kehilangan aset-asetnya yang berharga.
Bila kerugian tersebut hanya disebut kerugian lembaga, maka negara telah kehilangan hak penguasaannya. Itu dia nilai berpotensi menabrak UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai oleh negara.
"Potensi pelanggaran terhadap konstitusi juga terlihat dari pasal yang memberikan kekebalan hukum kepada pengurus dan pegawai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya yang tidak bisa dituntut/digugat baik secara pidana maupun perdata," urainya.
Hal itu, dia anggap dapat melanggar asas persamaan dihadapan hukum atau Equality Before The Law, dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 tentang asas persamaan dihadapan hukum dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.