Buruh Tuntut 7 Hal Soal Omnibus Law, Ini Jawaban Menaker

Buruh Tuntut 7 Hal Soal Omnibus Law, Ini Jawaban Menaker

Trio Hamdani - detikFinance
Selasa, 06 Okt 2020 15:50 WIB
Menaker Ida Fauziyah menyambangi gedung KPK. Kedatangannya itu untuk menyampaikan perkembangan program bantuan subsidi gaji ke lembaga antirasuah tersebut.
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) membeberkan 7 tuntutan yang menjadi alasan buruh menolak Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Poin yang ditolak buruh dalam UU Ciptaker di antaranya UMK dibuat bersyarat, pesangon dikurangi jadi 25 kali upah, hingga kontrak kerja seumur hidup.

Bagaimana Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyikapi 7 poin penolakan buruh?

"Terdapat prinsip-prinsip umum yang dipatuhi dalam penyusunan Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja, yaitu penyusunan ketentuan klaster ketenagakerjaan memperhatikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU 13/2003, ketentuan mengenai sanksi ketenagakerjaan dikembalikan kepada UU 13/2003," kata Ida dalam pernyataan tertulis, Selasa (6/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenai masalah upah minimum yang ditolak buruh, dirinya menjelaskan UU Ciptaker tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja sebagaimana diatur di dalam UU 13/2003 dan PP 78/2015 dan selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah yang baru.

"Terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Selain itu, ketentuan mengenai upah minimum kabupaten/kota tetap dipertahankan. Dengan adanya kejelasan dalam konsep penetapan upah minimum dimaksud, maka RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Di samping itu, untuk memperkuat perlindungan upah bagi pekerja serta meningkatkan pertumbuhan sektor usaha mikro dan kecil, dia menerangkan UU Ciptaker mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor usaha mikro dan kecil.

Lalu terkait, pekerja outsourcing atau alih daya yang disorot buruh, dia menekankan syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja dalam kegiatan outsourcing masih tetap dipertahankan.

"Bahkan RUU Cipta memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya. Hal ini sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011," paparnya.

Di samping itu, dalam rangka pengawasan terhadap perusahaan alih daya, UU Ciptaker turut mengatur syarat-syarat perizinan terhadap perusahaan alih daya yang terintegrasi dalam sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS).

Buruh juga keberatan soal waktu kerja yang eksploitatif. Mengenai ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat, Ida menjelaskan tetap diatur seperti UU eksisting, yakni UU 13/2003, dan menambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu.

"Hal ini untuk mengakomodir tuntutan perlindungan pekerja/buruh pada bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu yang di era ekonomi digital saat ini berkembang secara dinamis," jelasnya.

Kontrak kerja seumur hidup juga jadi poin penolakan buruh. Buruh menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) seumur hidup tanpa batas waktu kontrak bagi pekerja.

Ida pun menjelaskan UU Ciptaker tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja dengan PKWT yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja.

"Di samping itu, RUU Cipta Kerja mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja/buruh pada saat berakhirnya PKWT," sebutnya.

Namun Ida tak menjawab poin penolakan buruh soal pesangon yang dikurangi jadi 25 kali upah, syarat mendapatkan kompensasi minimal 1 tahun kerja, serta hak cuti melahirkan dan haid menjadi tidak dibayar.




(toy/zlf)

Hide Ads