Jakarta -
Ketentuan cuti hamil, melahirkan, dan haid masih berlaku sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah dan DPR RI menegaskan kehadiran UU Omnibus Law Cipta Kerja tak mengubah ketentuan tersebut. Begitu juga dengan hak upah atas cuti hamil, melahirkan, dan haid masih diberlakukan sesuai UU 13/2003.
"Hak tidak masuk kerja karena sakit akibat haid, istilah di UU 13 tahun 2003 'istirahat' bukan cuti, dan istirahat melahirkan, bukan cuti hamil, serta hak lainnya atas cuti dan istirahat, tetap masih berlaku. Termasuk hak atas upahnya karena menjalankan cuti atau istirahat tersebut, masih berlaku," tegas Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah ketika dihubungi detikcom, Kamis (8/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ida menjelaskan, ketentuan hak upah ketika pekerja mengambil istirahat tersebut akan diatur dan dirincikan dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Ya memang akan diatur lebih detail di PP," ungkapnya.
Namun, ia kembali menegaskan dalam PP itu pemerintah tak akan mengubah ketentuan baik untuk cuti istirahat hamil dan melahirkan, maupun haid. "Tidak ada perubahan," tegasnya lagi.
Dihubungi secara terpisah, Anggota Baleg dari fraksi PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, ketentuan cuti hamil dan melahirkan, serta cuti haid masih berlaku sesuai UU 13/2003.
"Sejauh yang kami pahami, semua tetap berlaku, dengan paradigma hubungan kerja bercorak kemitraan, bukan belas kasihan. Itu sebabnya lebih sehat dan rasional," kata Hendrawan ketika dihubungi detikcom secara terpisah.
Ia juga memberikan dokumen butir-butir penjelasan RUU Cipta Kerja yang mencakup penjelasan atas ketentuan hak cuti hamil, melahirkan, dan haid, serta hak upah atas cuti itu. Berikut bunyinya:
1. Pengusaha tetap wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja/buruh.
2. RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Hendrawan menegaskan, ketentuan hak upah atau gaji selama cuti itu juga masih berlaku sesuai UU Ketenagakerjaan. Namun, untuk ketentuan rincinya akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Masih. Detailnya nanti dalam PP," ujar Hendrawan.
Pasal-pasal Cuti Hamil, Haid, dan Melahirkan
Dalam UU 13/2003, ketentuan cuti atau istirahat hamil, melahirkan, dan haid tertuang dalam pasal 81 dan 82. Berikut bunyinya:
Pasal 81:
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82:
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Sementara, ketentuan hak upah atas cuti hamil dan melahirkan tertuang dalam pasal 84 yang berbunyi:
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
Kemudian, ketentuan hak hak upah atas cuti atau istirahat haid dalam UU 13/2003 tertuang dalam pasal 93 yang berbunyi:
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Seluruh pasal di atas tak dilakukan perubahan di Omnibus Law Cipta Kerja, karena tak dicantumkan. Sehingga, menurut penegasan pemerintah pasal-pasal tersebut memang masih berlaku.
Sempat Bikin Resah Publik
Sebelum penegasan itu, banyak isu liar beredar mengenai hak upah atas cuti hamil, melahirkan, dan haid dihilangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Hal itu juga masuk dalam poin-poin keresahan buruh.
"Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar. No work, no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut. Dengan kata lain, otomatis peraturan baru di Omnibus Law tersebut tentang cuti haid dan hamil hilang, karena dibuat untuk tidak bisa dilaksanakan. Jelas aturan ini bertentangan dengan konvensi ILO yang mengatur bahwa buruh yang mengambil hak cuti maka harus dibayarkan upahnya," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal kepada detikcom beberapa waktu lalu.
Selain itu, sejumlah pengamat juga menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang tak kunjung meluruskan isu simpang siur sebelum terjadinya gejolak di kalangan masyarakat. Sikap pemerintah dan DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja yang dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober 2020, dari seharusnya 8 Oktober 2020 juga disayangkan.
"Jika DPR mengklaim aturan yg termaktub dalam UU Cipta Kerja sudah benar, Kenapa DPR lebih memilih menghilang dari Senayan atas nama reses? Kenapa mereka tidak mau jelaskan langsung untuk meredam pergerakan buruh dan mahasiswa? Presiden juga begitu, memilih menghilang dan menghindar dengan pergi ke Solo dan Palangkaraya? Kalau Presiden mau berpikiran strategis dan jujur ke kaum pekerja, cukup temui dan minta para menterinya jelaskan pasal-pasal kontroversial itu kalau memang sudah mengakomodir aspirasi buruh," jelas Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam kepada detikcom.
Ia juga menyinggung sikap pemerintah dan DPR yang hingga saat ini belum mengeluarkan draft final UU Cipta Kerja setelah pengesahan, namun masih dalam bentuk draft final RUU.
"Gerakan buruh memandang UU Ciptaker memang cuti haid dan hamil tidak berubah, tapi tidak dibayar. Itu yang membuat pekerja marah, beban perusahaan diringankan, sedangkan beban buruh beratkan. Tapi lagi-lagi, ini kan ada kesimpangsiuran, faktanya Baleg (Badan Legislasi) DPR belum merilis draft akhir RUU Ciptaker yang versi final pasca pengesahan di Paripurna DPR kemarin. Alasan Baleg, 'masih diperbaiki'," terang Umam.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam juga menyayangkan sikap pemerintah yang tak berupaya mengantisipasi dan meredam amarah publik.
"Persoalannya itu adalah sudah muncul ketidakpercayaan. Walaupun ketidakpercayaan itu didasarkan kepada informasi yang belum sepenuhnya terkonfirmasi. Nah ini tantangannya jadi berat. Karena pemerintah tidak mengantisipasi sejak awal, permasalahan komunikasi ini tidak diantisipasi sejak awal," jelas Piter.
Ia menuturkan, jika ketentuan cuti hamil dan melahirkan, serta haid tetap berlaku sesuai aturan yang ada sebelumnya, seharusnya pemerintah dan DPR bersama-sama memberikan penjelasan konkret.
"Kalau memang pemerintah pede itu penjelasannya. Kenapa itu tidak dibangun saluran-saluran komunikasi untuk menyampaikannya kepada publik? Dan seharusnya dilakukan sebelum geger sekarang ini, kegaduhan sekarang ini, seharusnya sudah diantisipasi. Sudah terlambat, tapi ya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," tandas Piter.