Soeharto Terbitkan Segudang Paket 'Omnibus Law' untuk Modal Asing

Soeharto Terbitkan Segudang Paket 'Omnibus Law' untuk Modal Asing

Tim detikcom - detikFinance
Minggu, 18 Okt 2020 19:14 WIB
omnibus law cipta kerja
Foto: omnibus law cipta kerja (Tim Infografis Fuad Hasim)
Jakarta -

Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu adalah bentuk deregulasi yang dilakukan di periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Melihat sejarah Indonesia, ternyata deregulasi itu bukanlah hal baru, melainkan sudah pernah juga dilakukan oleh pemerintahan era Presiden ke-2 RI Soeharto, atau tepatnya di era Orde Baru (Orba).

Sama dengan Omnibus Law Cipta Kerja, deregulasi zaman Orba juga bertujuan meningkatkan penanaman modal asing atau investasi. Namun, penekanan deregulasi kala itu ialah perdagangan bebas, sementara penekanan Omnibus Law era Jokowi adalah penciptaan lapangan kerja.

Deregulasi era Soeharto dimulai pada 1 Juni 1983. Dikutip dari dokumen sejarah Bank Indonesia (BI), kala itu paket ekonomi yang dikenalkan adalah Pakjun 1983. Dalam Pakjun itu, bank-bank memperoleh kebebasan dalam menentukan besarnya kredit yang diberikan sesuai dengan dana masyarakat yang dapat dihimpun. Di samping itu, bank-bank pemerintah diberi kebebasan menentukan sendiri tingkat suku bunga baik suku bunga dana maupun kredit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijakan tersebut bertujuan agar perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana simpanan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).

Melalui Pakjun 1983, ekspansi kredit perbankan yang tadinya dibatasi oleh pemerintah kemudian dibebaskan. Giro Wajib Minimum bank-bank pada BI yang tadinya ditetapkan 15% kemudian diturunkan menjadi 2%.

ADVERTISEMENT

Pada tahun 1988 dikeluarkan lagi Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yang berisi emberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971. Demikian pula dengan izin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan.

Dikutip dari buku Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 karya Rizal Mallarangeng, deregulasi era Soeharto itu juga fokus pada penghapusan hambatan tarif atau pun non tarif dalam perdagangan internasional. Kebijakan itu pun berlanjut hingga awal tahun 1990-an, di mana lahir Paket Januari (Pakjan) dan Paket Mei (Pakmei) 1990.

Kebijakan dalam kedua paket itu menurunkan tarif atas 2.481 daftar barang dari 9.250 klasifikasi tarif yang masih ada. Selain itu, hambatan-hambatan impor non-tarif atas lebih dari 1.000 produk industri dihapuskan secara total, dan sisanya disederhanakan.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Setelah itu, lahir paket-paket lainnya pada Juni 1991 dan Mei 1992. Di antara berbagai ketentuan, yang menonjol adalah penghapusan larangan impor lembaran baja dingin, lempengan timah, dan berbagai kategori mobil komersial built-up.

Lalu, larangan impor kopra dan minyak sawit dihapuskan. Sementara, komoditas lainnya seperti daging sapi, ayam, dan produk perikanan dialihkan dari kategori produk dalam daftar perlindungan non-tarif, menjadi produk yang dilindungi lewat tarif.

Di sektor penanaman modal asing, deregulasi Soeharto mengizinkan 100% kepemilikan asing untuk jenis penanaman modal tertentu. Kemudian, perpanjangan masa pengalihan kepemilikan usaha menjadi 20 tahun. Lebih lanjut, persyaratan modal minimum cukup drastis, yakni hanya sebesar US$ 250.000 bagi perusahaan-perusahaan padat karya, atau yang mempekerjakan lebih dari 50 orang.

Kemudian, tingkat minimum saham yang dimiliki orang Indonesia dalam penanaman modal asing juga diturunkan hingga 5% pada saat proyek mulai berjalan.

Namun, perubahan kebijakan dari deregulasi Soeharto lebih terasa di era 1980-an, yang sangat drastis pada sektor perbankan. Memasuki tahun 1990, perubahan di perekonomian Indonesia tak begitu terasa. Bahkan, bank-bank dalam negeri mulai mengalami kondisi tak sehat.

Akhirnya, di tahun 1991 pemerintah membatasi lagi kebebasan bank-bank swasta domestik membuka kantor cabang baru.

Di tahun-tahun selanjutnya, kebijakan deregulasi justru dianggap melahirkan monster baru, di mana adanya kekuasaan konglomerat, yang umumnya adalah pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa.

Seiringan dengan itu, Indonesia juga memasuki masa krisis keuangan, tepatnya mulai 1997-1998. Deregulasi Soeharto pun mulai jatuh dari panggung kejayaan.



Simak Video "Video: Kementerian Kebudayaan Minta DPR Dukung Pembuatan RUU Omnibus Law"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads