Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memberikan tekanan pada ekonomi. Implikasi dari kebijakan tersebut dapat terlihat dari penerimaan pajak negara yang mengalami kontraksi.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA pagi ini secara virtual, Senin (19/10/2020). Dia menjelaskan penerimaan pajak dari berbagai sektor mengalami tekanan.
"Penerimaan pajak realisasi kita mencapai Rp 798,1 triliun atau 63,5% dari target kita. Penerimaan pajak kita dari sisi migas, tadi harga migas masih di bawah 40 dan itu jauh rendah dari harga awal minyak di atas 60. Maka kelihatan bahwa penerimaan migas mengalami kontraksi karena lifting juga masih di bawah target," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PPh migas tercatat mengalami kontraksi hingga 45% dibandingkan tahun lalu. Sementara pajak non migas kontraksi 16,9%, dan PPN terkontraksi 13,6%. Pajak PBB juga mengalami kontraksi 9,6%.
Baca juga: Ekonomi RI Disebut Mulai Pulih, Ini Buktinya |
Sementara dari sisi pabean dan cukai mengalami petumbuhan positif sebesar 3,8%. Kepabaenan dan cukai telah mengumpulkan Rp 141,8 triliun atau 68,9% dari target Perpres Rp 205,7 triliun.
Dari jenis pajaknya, PPh 21 selama 3 bulan terakhir tercatat mengalami perbaikan karena kontaksinya makin kecil. PPh orang pribadi bahkan tumbuh positif pada September.
Sementara PPN dalam negeri mengalami tekanan bulan September karena adanya penurunan aktivitas perdagangan dan produksi seiring dengan PSBB di Jakarta yang sempat ditetapkan kembali.
Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak setelah Juli sejatinya mulai menunjukkan perbaikan. Namun pemerintah juga perlu waspada jika sewaktu-waktu kebijakan PSBB kembali diberlakukan. Pasalnya kebijakan tersebut telah terbukti memberikan tekanan pada penerimaan pajak.
"Dari penerimaan pajak tren hijau itu ada perbaikan setelah Juli terdalam kontraksinya. Tren sesuai harapan menuju perbaikan ekonomi namun tetap waspada setiap ada PSBB kelihatan sekali pajak langsung tekanan," ungkapnya.