Jakarta -
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mendapat informasi jika tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) naik 19% tahun depan. Angka ini lebih tinggi dari kabar yang berhembus yakni 17%.
"Malah kabar yang kami dapat berkisar 19%," kata Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budiyono kepada detikcom, Rabu (21/10/2020).
Dia mengatakan, prinsipnya pengusaha menolak kenaikan tarif cukai yang tidak rasional. Apalagi, di tengah pandemi seperti sekarang ini. Menurutnya, kenaikan tarif cukai terhadap SKT akan berdampak luas pada tenaga kerja dan petani tembakau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Prinsipnya di masa pandemi ini AMTI tetap menolak kenaikan cukai yang eksesif dan tidak rasional bahkan AMTI secara tegas meminta kepada pemerintah untuk tidak menaikkan cukai terhadap SKT (Sigaret Kretek Tangan) karena akan berimplikasi luas terhadap sektor tenaga kerja dan petani tembakau," paparnya.
Sebagai informasi, pemerintah biasanya mengumumkan kenaikan tarif cukai pada September atau Oktober.
Saat dikonfirmasi soal kabar kenaikan cukai 17%, Kepala Subbidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Sarno hanya mengatakan, belum ada keputusan dan masih dibahas.
"Belum ada putusan, masih dalam pembahasan," ujarnya.
____
Cukai Naik di Saat Pandemi, Sudah Tepat?
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan, dalam kebijakan tarif ada sejumlah pertimbangan seperti tenaga kerja, pengendalian dan penerimaan. Hal itu menimbulkan tarik-menarik kepentingan.
Sementara, tahun depan kemungkinan besar Indonesia masuk dalam masa pemulihan (recovery) ekonomi. Ekonomi bakal merangkak berjalan normal.
Menurutnya, kenaikan tarif cukai lebih condong ke aspek pengendalian dan mengorbankan aspek penerimaan negara dan ketenagakerjaan. Ia juga bilang, kenaikan tersebut tak tepat dilakukan di tengah masa pemulihan.
"Tentunya, saat recovery kebijakan ini tak tepat, mencari kerja saja masih sulit. Ini kok malah mengeluarkan kebijakan yang akan banyak mengorbankan lapangan pekerjaan?" katanya.
Menurutnya, penerimaan negara juga akan jebol. Sebab, industri saat ini sedang terpukul. Menurutnya, jika industri sedang terpukul maka penerimaan negara juga akan turun.
"Padahal kondisi keuangan kita lagi butuh-butuhnya penerimaan negara. Cukai ini kontribusinya besar loh. Bahkan menjadi solusi penerimaan ketika kinerja pajak lesu," ujarnya.
"Maksimal, kenaikan tarif harus sesuai pertumbuhan alaminya (pertumbuhan ekonomi dan inflasi), kisaran 10% agar bisa recover dulu lah," sambungnya.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan, kebijakan CHT harus memperhatikan 3 hal. Sebutnya, pengendalian konsumsi, kestabilan usaha dan tenaga kerja, serta penerimaan.
Menurutnya, dengan mempertimbangkan hal itu kenaikan tarif sekitar 10 hingga 12% akan lebih tepat.
"Dengan mempertimbangkan ketiganya, kenaikan tarif yang berada di kisaran 10-12% agaknya akan jauh lebih tepat. Dengan demikian, masih menjaga kestabilan usaha, tetap mengendalikan konsumsi rokok, serta menambah pemasukan bagi negara," jelasnya
Simak Video "Video: CISDI Dorong Pemerintah Naikkan Cukai untuk Tekan Jumlah Perokok"
[Gambas:Video 20detik]