Menurutnya, jika pemerintah memberikan relaksasi bea masuk dan perpajakan, maka akan sangat membantu operator yakni PT Bakrie Autoparts dan juga TransJakarta selaku penyewa jasa operator untuk merealisasi pengadaan bus listrik. Pasalnya, dengan realisasi saja biaya investasinya sudah sangat besar. Sehingga, pengeluarannya lebih tinggi dibandingkan pengadaan bus berbahan bakar minyak (BBM).
"Kalau pemerintah memberikan relaksasi terhadap bea masuk saja, maka perbedaannya hanya antara 10-15% lebih mahal sedikit, karena investasi di depan. Tapi kalau umpamanya ada policy, katakanlah usia kendaraannya bisa ditarik jadi 15 tahun, instead of 10 tahun, berarti kan modal awalnya bisa ditarik sampai 15 tahun, mungkin bedanya cuma 5-10%. Tapi kalau bea masuk tetap dibayarkan, lalu usia tetap 10 tahun, nah itu bedanya bisa 45% dari biaya yang kita keluarkan untuk bus-bus yang menggunakan BBM," jelas Sardjono.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengaku sudah sering membahas relaksasi ini dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perhubungan. Oleh sebab itu, saat ini pihaknya menantikan realisasinya.
"Belum tahu (kapan ada relaksasi), kita tunggu saja. Ini sudah sering dibahas. Tinggal sekarang kemauannya saja, mau betul-betul mempromosikan udara bersih dan energi terbarukan, atau lip service," imbuhnya.
Namun, jika pemerintah tak kunjung memberikan relaksasi, maka operator terpaksa membeli bus listrik dengan biaya yang besar. Apalagi, mengingat 2 bulan lagi sudah memasuki tahun 2021.
"Ya sudah berarti operator akan berinvestasi dengan harga bea masuk 40%. Tinggal nanti kita tawar-tawaran saja. Selama itu affordable buat kita, affordable buat masyarakat, buat Pemprov DKI, ya pasti kita jalan," pungkasnya.
(fdl/fdl)