Jakarta -
Dampak pandemi virus Corona (COVID-19) sangat terasa para perusahaan pengelola transportasi publik, salah satunya PT Transportasi Jakarta (TransJakarta). Pada Maret-Mei lalu, jumlah penumpang TransJakarta anjlok, bahkan hanya menyisakan 15%.
"Kalau penurunan Maret-April-Mei itu drastis, penumpang kita tinggal 15%," ungkap Direktur Utama PT Transportasi Jakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo dalam wawancara khusus dengan detikcom, Selasa (27/10/2020).
Belum lagi pengeluaran perusahaan yang membengkak hampir dua kali lipat karena banyaknya tambahan keperluan untuk pencegahan virus Corona di perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biaya kita naik hampir 80%," ujar Sardjono.
Adapun bengkaknya pengeluaran itu disebabkan oleh kebijakan physical distancing yang memberikan beban operasional bus.
"Ya kan 90 penumpang yang tadinya bisa dibawa 1 bus, sekarang mesti 3 bus. Jadi mau nggak mau tadinya ada hubungan langsung antara jumlah pendapatan dan jumlah biaya, sekarang jadi nggak ada. Jadi tidak langsung hubungannya. Karena penumpang yang biasa diangkut satu bus, menjadi tiga bus. Jadi biaya membengkak walaupun penumpang turun. Kan biasanya penumpang turun, biaya turun. Ini tidak, jadi penumpang turun, biaya naik," terang Sardjono.
Selain itu, setiap malam perusahaan selalu mensterilkan seluruh armada bus yang beroperasi dengan disinfektan. Otomatis, perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih.
"Sekarang angkutan di atas pukul 23.00 WIB kita provide untuk angkutan medis, khusus, buat dokter-dokter yang pulang malam, dan sebagainya. Ketika besok beroperasi lagi, setiap malam kita disinfektan. Aman dan bersih sejauh yang sudah kita instruksikan dan kita lakukan," tutur dia.
Ditambah lagi dengan demonstrasi besar-besaran menolak Omnibus Law Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 lalu yang sampai merusak puluhan halte, dan sebanyak 6 halte dibakar pendemo sampai hangus. Perusahaan pun harus menelan kerugian miliaran rupiah.
"Karena tidak bisa dipakai, dan kerugian asetnya, kan ada yang terbakar, tidak bisa dipakai. Padahal baru setahun, seperti Tosari itu. Dibakar sampai sedemikian rupa, sampai bajanya melenting. Nah itu kerugian total Rp 65 miliar," ujar Sardjono.
Namun, perusahaan tetap berusaha 'unjuk gigi' dengan menjalankan sederet rencana kerjanya, mulai dari program Langit Biru yakni memperbanyak armada bus listrik, hingga melanjutkan halte integrasi.
Rencana TransJakarta di halaman berikutnya.
Memasuki bulan Juni hingga saat ini, jumlah penumpang TransJakarta mulai meningkat lagi, sehingga, dari sisi pemasukan perusahaan sedikit demi sedikit pulih.
"Sejak PSBB Transisi pertama itu pertumbuhannya kurang lebih 10-15% per minggu, date to date, Senin dibandingkan Senin, lalu Selasa dibandingkan Selasa naiknya 10-15%. Sekarang sudah 380.000-an lagi, hampir 400.000 penumpang per hari," tutur Sardjono.
Meski jumlah penumpang mulai naik kembali, Sardjono menegaskan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 selalu diterapkan dengan ketat di semua sarana TransJakarta.
"Jaga jarak di dalam bus, halte, mencuci tangan, menggunakan masker, kita juga lakukan di kantor pusat, halte, kemudian penumpangnya yang tidak memakai masker tidak kita perbolehkan masuk. Kalau ada policy membagikan masker ya kita bagikan," terang Sardjono.
Selain itu, pihaknya juga sudah mengatasi penumpukan penumpang di halte-halte. Hal ini menyusul antisipasi penumpukan penumpang karena kapasitas di bus dibatasi dengan adanya kebijakan physical distancing.
"Kan diantisipasi dengan headway yang diperpendek, jadi jarak antarbus lebih dekat, sehingga penumpang tidak terlalu menumpuk di halte. Jadi nggak ada penumpukan penumpang," jelas dia.
Pembangunan proyek jembatan layang atau skybridge untuk integrasi halte TransJakarta Centrale Stichting Wederopbouw (CSW) dengan Stasiun MRT ASEAN dikebut. Sardjono mengatakan, halte dengan desain bernama Cakra Selaras Wahana itu akan beroperasi pada 1 Mei 2021.
Pada 1 Mei 2021, pihaknya menargetkan sudah dilaksanakan Berita Acara Serah Terima Operasional (BASTO). Untuk saat ini, progres konstruksinya pun sudah mencapai 53%.
"Sekarang sedang berjalan. Insyaallah 1 Mei 2021 selesai. Sudah 5 tingkat, bundaran, seperti cakram," paparnya.
Untuk pembangunan fase pertama integrasi CSW, TransJakarta menyiapkan anggaran sampai Rp 80 miliar. "Itu semua anggaran Transjakarta, fase 1 kurang lebih membutuhkan Rp 80 miliar. Tidak ada (investasi asing), TransJakarta semua," ucap Sardjono.
Bus Listrik TransJakarta Mondar-mandir Tahun Depan
TransJakarta dan PT Bakrie Autoparts telah melakukan uji coba dua unit bus listrik bermerek BYD selama 3 bulan, yakni sejak 6 Juli-6 Oktober 2020. Evaluasi uji coba 3 bulan membuktikan dua unit bus listrik yang melayani rute EV1 rute Blok M - Balai Kota itu memenuhi standar operasional.
"Ya dia sesuai spesifikasi, charging-nya tepat, kemudian power ratio dengan kilometernya tepat seperti yang ada di dalam spesifikasinya. Intinya secara operasional, bus listrik yang kita uji cobakan ini, yang punya merek BYD yang dibawa masuk oleh Bakrie Autoparts itu bagus. Tidak mogok, alhamdulillah tidak meleduk. Tidak ada masalahlah secara teknis," kata Sardjono.
Melihat hasil evaluasi yang memuaskan itu, TransJakarta menargetkan 100-300 unit bus listrik akan dikirim ke Tanah Air tahun depan. Hal ini merupakan upaya perusahaan mencicil target untuk menggantikan seluruh armada TransJakarta dengan bus listrik di tahun 2030.
"Kita menargetkan antara 100-300 unit di tahun 2021. Itu sudah masuk di dalam rencana kerja kita," ungkap Sardjono.
Namun, menurut Sardjono, upaya melaksanakan program Langit Biru dengan menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan ini tak bisa dilakukan oleh TransJakarta sendiri. Ia mengharapkan, seluruh kementerian/lembaga terkait juga bisa dengan cepat memberikan bantuan agar program ini terlaksana dengan baik.
Khususnya kepada pemerintah pusat, ia berharap ada relaksasi dari sisi bea masuk, dan juga perpajakan terhadap PT Bakrie Autoparts yang akan membeli seluruh bus listriknya. Relaksasi itu tentunya akan mengurangi beban operator dan juga TransJakarta, dan pada akhirnya juga meringankan beban APDB Jakarta yang bisa membengkak jika bea masuk dan pajak pembelian bus listrik tetap berlaku normal.
Pasalnya, biaya yang dikeluarkan untuk membeli bus listrik akan mempengaruhi biaya rupiah per kilometer (Km) yang dibayarkan TransJakarta. Apabila, tinggi, maka tiket penumpang bisa naik, dan Pemprov DKI Jakarta harus memberikan subsidi lebih besar.
"Kalau (tarif tiket penumpang ) nggak naik kan disubsidi, makanya saya katakan itu akan menjadi stressor pada struktur APBD," tutup Sardjono.