Amerika Serikat melalui United States Trade Representative (USTR) telah memberikan perpanjangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Dengan adanya fasilitas ini, Indonesia berhak mendapatkan pembebasan tarif bea masuk dari fasilitas GSP untuk barang-barang yang ada pada klasifikasi Harmonize System (HS).
Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Mahendra Siregar mengatakan dari 3.500 produk GSP yang ada pada HS, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 800 produk. Tetapi, dengan adanya GSP perbandingan harga produk Indonesia di pasar Amerika Serikat bisa mencapai 10%.
"Dengan adanya GSP, 800 produk itu menjadi lebih kompetitif (di pasar Amerika Serikat) karena harga jual. Dengan beda 10% itu besar untuk bisa bersaing di pasar Amerika. Antara bisa terjual laku dan baik atau tidak," imbuh Mahendra kepada detikcom lewat sambungan video, Rabu (4/11/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari data yang diberikan Kementerian Luar Negeri, setidaknya ada 5 klasifikasi produk GSP yang menyumbang angka ekspor besar atau di atas US$ 100 per Agustus 2020. Perhiasan masih menjadi komoditi dengan nilai ekspor terbesar atau sebesar US$ 260,7 juta. Angka ini naik sebesar 6,0% dari periode yang sama pada tahun lalu yaitu US$ 245,9 juta.
Komoditi furniture juga menjadi produk GSP dengan nilai ekspor tinggi atau berada di angka US$ 243,1 juta. Hebatnya, nilai tersebut meroket sebesar 220,9% dibandingkan pada periode yang sama pada 2019 yang hanya ditutup pada angka US$ 75,8 juta.
Kenaikan yang signifikan juga terlihat pada komoditi metal dan peralatan makan. Per Agustus 2020, nilai ekspor komoditas GSP ini mencapai angka US$ 14,5 juta atau melonjak sebesar 537,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang berada di angka US$ 2,3 juta.
Komoditas mesin dan peralatan juga mengalami peningkatan yang tinggi per Agustus tahun ini yaitu sebesar US$ 34,1 juta atau naik 76,5% dibandingkan periode yang sama di 2019 sebesar US$ 19,3 juta. Kenaikan juga terjadi pada produk kayu yang naik sekitar 75,8% atau US$ 168,1 juta dibandingkan periode yang sama di 2019 yang berada di angka US$ 95,7 juta.
Secara keseluruhan, produk GSP per bulan Agustus 2020 mengalami kenaikan sebesar 11% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada 2019, ekspor produk GSP Indonesia ke Amerika Serikat ditutup di angka US$ 2,61 miliar atau setara dengan 13,1% dari total ekspor ke AS.
"Perkiraannya (nilai ekspor produk GSP) karena kita belum selesai tahun ini, mendekati atau sekitar US$ 3 miliar. Kalau US$ 3 m itu berarti dari segi penerima produk GSP, Indonesia akan menjadi yang terbesar," jelasnya.
Mahendra menuturkan pemerintah Indonesia tidak menargetkan GSP selamanya. Ia mencontohkan bila nilai ekspor suatu barang sudah tinggi, maka produk tersebut akan dikeluarkan dari GSP. Di sisi lain, lambat laun Indonesia juga akan terus berkembang menjadi negara yang lebih maju, sehingga pemberian GSP bukan lagi menjadi keharusan.
"GSP itu bukan tujuan yang permanen, tapi saya melihat ini sebagai tujuan antara. Yang kita harapkan dengan fasilitas ini kita bisa meningkatkan ekspor, daya saing, dan kemudian membangun daya ekspor dan daya saing yang lebih kuat. Lalu, ke depan kita juga akan membahas perjanjian perdagangan yang lebih permanen," imbuhnya.
Sebagai informasi, perpanjangan GSP diterima oleh Indonesia pada tanggal 30 Oktober kemarin. Fasilitas GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk kepada negara-negara berkembang tertentu di dunia, termasuk Indonesia.
Dengan adanya fasilitas ini, produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dapat bersaing dengan produk lainnya dengan harga yang lebih murah.
(ega/mpr)