Jakarta -
Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard menjelaskan dampak boikot produk Prancis yang di sejumlah negara termasuk Indonesia. Ia mengatakan dampak dari boikot produk Prancis tidak hanya berdampak bagi negaranya, juga Indonesia.
"Boikot bisa merugikan ekonomi Prancis tentu saja, tapi boikot juga merugikan Indonesia" tutur Olivier di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (9/11/2020).
Ia menambahkan, ada 50 ribu orang yang bekerja di perusahaan Prancis di Indonesia. Ada banyak orang yang terdampak jika aksi boikot terus dilakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada banyak orang Indonesia yang terdampak dengan aksi boikot ini," tambahnya.
Aksi boikot produk Prancis juga memberikan citra yang buruk bagi Indonesia. Hal ini berujung pada daya tarik investasi Indonesia.
"Salah satu tugas saya adalah mengajak perusahaan Prancis berinvestasi di negara ini, berinvestasi jangka panjang," tuturnya.
Olivier mengatakan ada lebih dari 200 perusahaan Prancis yang ada di Indonesia. Sebanyak 200 perusahaan itu terdiri dari berbagai ukuran, dari yang skala kecil hingga raksasa.
"Ada 200 perusahaan Prancis, dengan ukuran yang berbeda. Jika Anda bicara Danone, itu adalah perusahaan besar di Prancis, di dunia dengan 30 pabrik di Indonesia," tuturnya.
Ia mengatakan perusahaan-perusahaan Prancis yang ada di Indonesia bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan menyikapi aksi boikot. Aksi boikot dengan memaksa pemilik toko menarik produk dari rak juga menjadi sorotan.
"Tentu saja mereka (perusahaan) bertanya kepada saya, menanyakan apa yang bisa dilakukan. Mereka menginformasikan ke Paris," ujarnya.
Olivier juga menjelaskan maksud pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron. Apa maksudnya? Langsung klik halaman berikutnya.
Olivier juga menjelaskan maksud dari pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron yang berujung aksi boikot di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Mengutip laman resmi Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, dijelaskan bahwa macron menyampaikan pesan untuk memerangi terorisme dalam bentuk islam radikal.
Pesan Macron disampaikan menyusul serangan teroris yang terjadi di Conflans Sainte-Honorine pada tanggal 16 Oktober lalu, di mana seorang guru dipenggal kepalanya saat meninggalkan sekolahnya, yang disusul dengan serangan yang terjadi di kota Nice pada tanggal 29 Oktober, di gereja Basilika Notre-Dame de l'Assomption, yang menewaskan tiga orang.
"Presiden Republik Prancis dengan jelas telah menetapkan sasaran dari strategi tersebut: sebuah ideologi, yaitu Islamisme radikal. Semua negara demokrasi dan hampir semua negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) memerangi Islamisme radikal ini, yang sering menjadi inkubator terorisme. Ini terjadi di Prancis selama beberapa tahun terakhir, seperti juga di Indonesia," kata Olivier.
Dijelaskan juga bahwa, Macron menegaskan laïcité, sebagai landasan kebebasan beragama, yang memungkinkan setiap komunitas beragama untuk menjalankan ibadah, dan menjaga netralitas negara terhadap semua agama.
"Laïcité adalah salah satu azas Republik Prancis seperti halnya Pancasila yang menjadi salah satu azas Republik Indonesia. Laïcité sama sekali bukan berarti penghapusan agama di ruang publik," lanjutnya.
Masih dari Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, dijelaskan bahwa Macron menyampaikan bahwa dia tidak akan mentolerir penyamarataan apapun. Ada perbedaan nyata antara mayoritas warga Muslim Prancis yang damai dan moderat, dengan kelompok minoritas militan yang bersifat separatis yang mengabaikan hukum dan memusuhi nilai-nilai Republik Prancis.
"Golongan terakhir inilah yang merupakan penyakit bagi mayoritas Muslim Prancis. Saya ingin mengatakannya lagi dengan jelas: korban pertama dari Islamisme radikal itu adalah umat Muslim sendiri," ujarnya.