Jakarta -
Boeing 737 Max akhirnya akan kembali mengudara di langit Amerika Serikat (AS). Namun, perusahaan masih menghadapi tantangan di pasar penerbangan China.
Melansir CNN, Jumat (20/11/2020), Administrasi Penerbangan Sipil China (CAAC) belum mengatakan apakah akan mengizinkan 737 Max terbang di negaranya setelah Administrasi Penerbangan Federal AS memberi lampu hijau bagi pesawat untuk mengangkut penumpang awal pekan ini.
Badan Keamanan Penerbangan Uni Eropa yang mengawasi penerbangan di Eropa mengatakan pihaknya memperkirakan akan mengambil tindakan pada akhir Desember atau awal 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi persetujuan China sangat penting. Negara itu adalah yang pertama menghentikan 737 Max tahun lalu setelah dua jet jatuh dan merenggut ratusan nyawa. CAAC bulan lalu mengatakan bahwa mereka memiliki kriteria sendiri yang harus dipenuhi Boeing, termasuk jaminan bahwa perubahan pada desainnya aman dan andal.
"Selama mereka memenuhi persyaratan, kami senang melihat mereka melanjutkan penerbangan," kata Feng Zhenglin, direktur CAAC, bulan lalu pada konferensi pers di Beijing.
"Tapi jika tidak, kami harus melakukan pemeriksaan ketat untuk memastikan keamanan," sambungnya.
Persetujuan China tidak hanya tentang mengizinkan 737 Max terbang di wilayah udara China lagi. Bisnis Boeing di China telah rusak parah akibat pertempuran bertahun-tahun antara Washington dan Beijing atas perdagangan, teknologi, dan hak kekayaan intelektual.
Sebelum perang dagang, China adalah pasar besar bagi Boeing. Pada 2015 dan 2016, penjualan di China masing-masing menyumbang 13% dan 11% dari total pendapatan perusahaan, menurut laporan tahunannya. Pada 2015, China adalah pasar ekspor terbesar Boeing, dan terbesar ketiga pada 2016.
"Di China, Boeing adalah tawanan kekuatan di luar dinamika pasar penerbangan belaka," kata Richard Aboulafia, wakil presiden analisis di Teal Group Corporation, sebuah perusahaan konsultan ruang angkasa.
"Tidak mungkin bagi Boeing untuk tidak terlibat dalam kekacauan raksasa ini, yang melibatkan hambatan perdagangan, sengketa [kekayaan intelektual], dan tarif." sebutnya.
Ketegangan AS-China juga terwujud dalam cara lain. Beijing mengatakan bulan lalu bahwa mereka akan menjatuhkan sanksi kepada perusahaan Amerika, termasuk Lockheed Martin (LMT) dan Boeing yang telah terlibat dalam penjualan senjata ke Taiwan.
Boeing optimis tentang prospeknya di China. Pekan lalu, perusahaan mengeluarkan prospek yang sangat positif pada penjualan untuk negara itu, dengan mengatakan bahwa mereka memperkirakan akan menjual 8.600 pesawat baru ke China selama 20 tahun ke depan. Perkiraan itu, bernilai US$ 1,4 triliun, bahkan lebih tinggi daripada sebelum pandemi COVID-19.
"Boeing tetap terdorong untuk mengembangkan jejaknya di pasar penerbangan sipil China hanya untuk alasan ekonomi dan strategis," kata Alex Capri, peneliti di Hinrich Foundation dan rekan senior tamu di Universitas Nasional Singapura.
"Kegagalan melakukan hal ini akan membebani pendapatan [penelitian dan pengembangan] perusahaan dan peluang masa depan untuk berkolaborasi dengan mitra strategis," tambahnya.