Jakarta -
Pandemi virus Corona (COVID-19) telah membuat utang global naik ke level tertinggi. Jumlahnya sudah mencapai US$ 272 triliun atau sekitar Rp 3.835 kuadriliun (kurs Rp 14.100) pada kuartal III-2020.
Institute for International Finance (IIF) mengatakan utang global akan memecahkan rekor baru dalam beberapa bulan mendatang mencapai US$ 277 triliun atau sekitar Rp 3.900 kuadriliun pada akhir tahun. Jumlah itu mewakili rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 365%.
"Didorong oleh peningkatan tajam dalam pinjaman pemerintah dan perusahaan saat pandemi COVID-19 terus berlanjut, beban utang global meningkat sebesar US$ 15 triliun dalam tiga kuartal pertama tahun 2020 dan sekarang berada di atas US$ 272 triliun," kata IIF dalam laporan global terbarunya dikutip dari CNBC, Jumat (20/11/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di antara negara-negara maju, utang melonjak di atas 432% dari PDB pada kuartal III-2020, jumlah ini meningkat 50% dari tahun 2019. Amerika Serikat (AS) yang telah menerapkan salah satu paket stimulus terbesar di dunia, menyumbang hampir setengah dari kenaikan ini.
Di pasar negara berkembang, tingkat utang naik hingga lebih dari 248% dari PDB, dengan Lebanon, China, Malaysia, dan Turki mengalami kenaikan terbesar dalam utang sektor non-keuangan.
Bagaimana dengan utang Indonesia? Klik halaman selanjutnya>>>
Hingga akhir September 2020 total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 5.756,87 triliun. Dengan angka tersebut maka rasio utang pemerintah sebesar 36,41% terhadap PDB. Total utang pemerintah itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp 864,29 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.892,57 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan jumlah utang Indonesia masih dalam kategori aman. Hanya saja memang, memiliki risiko yang tinggi.
"Memang (utang) kita itu menurut pengertian IMF masih relatif aman kalau pengertiannya negara-negara luar karena kalau kita lihat ada yang lebih tinggi dari kita. Tetapi memang ada yang lebih rendah dari kita misalnya Filipina itu 2020 24,7% PDB. Saya kira kalau aman iya, cuma sekarang pada fase punya risiko yang tinggi," kata Tauhid.
Risiko tinggi yang dimaksud karena jumlah utang Indonesia dinilai lebih besar dibanding kemampuan bayarnya. Hal itu tercermin dari pendapatan melalui pertumbuhan penerimaan pajak yang disebut tidak berbanding dengan peningkatan jumlah utang.
"Ini berbanding terbalik pertumbuhan pajaknya kan turun, artinya dari penerimaan kita tidak mampu untuk membayar utang sebesar itu karena pertumbuhan utangnya kan tahun ini kita lebih banyak utang ketimbang menggenjot pendapatan. Ini yang menurut saya akan berisiko, bukan berbahaya tapi risikonya akan semakin tinggi," imbuhnya.
Utang Indonesia masih dalam kategori aman juga disampaikan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Menurutnya, bahayanya suatu utang tidak diukur hanya berdasarkan dari jumlahnya, tetapi jika utang tersebut tidak bermanfaat terhadap kesejahteraan masyarakat.
"Bahaya atau tidaknya utang menurut saya tidak diukur dari jumlah nya. Kalau menurut saya utang Indonesia sejauh ini masih aman," ucapnya.