Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa badan usaha milik negara (BUMN) mulai kesulitan mencari pendanaan bersumber dari utang. Hal itu disampaikan oleh Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata.
Dalam bahan paparan Isa, sejumlah BUMN sudah mencatatkan Debt to Equity Ratio (DER) di atas batas wajar. Batas wajar rasio tingkat utang dibandingkan pendapatan kotor dan ekuitas sebesar 3-4 kali. DER digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar utangnya.
"Sementara pada saat kita menyerahkan kepada BUMN-BUMN untuk melakukan atau mencari pembiayaan sendiri kita tahu banyak BUMN yang kemudian sudah mulai terkendala dalam kemampuannya untuk mencari pembiayaan yang bersifat utang," kata dia dalam diskusi publik yang tayang di saluran YouTube UU Cipta Kerja 1, kemarin Rabu (2/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tercatat hingga kuartal II-2020, DER dari Krakatau Steel 6,05, Waskita Karya 3,42, PT PP Properti 2,9, PT Timah 2,82, Wijaya Karya 2,7, PT PP 2,81, Adhi Karya 5,76, Garuda Maintenance Facility Aero Asia 4,83, Jasa Marga 3,26.
Pemerintah, dijelaskannya bisa saja meminjam uang dari dalam maupun luar negeri dalam rangka mengumpulkan dana untuk melakukan pembangunan. Namun, disadari bahwa semua orang mengharapkan pemerintah selalu bisa mengendalikan utang.
"Jadi, terdapat kesenjangan antara kemampuan kita untuk mengumpulkan dana dan kebutuhan yang semakin lama memang semakin tinggi karena kita memang penuh antusiasme untuk membangun negeri ini," sebutnya.
Baca juga: BUMN Mulai Kesulitan Cari Utang! |
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? Penjelasannya di halaman selanjutnya.
Isa menjelaskan bahwa pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk membentuk lembaga pengelola investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF), yakni untuk menghimpun dana dari investor.
"Di sisi lain kita melihat bahwa sejumlah sovereign investor sebetulnya tertarik untuk berinvestasi di Indonesia, mereka sudah menyatakan minat," ungkapnya.
Tetapi, dijelaskan Isa bahwa mereka membutuhkan mitra strategis yang kuat secara hukum maupun kelembagaannya, dan mampu menerapkan tata kelola yang solid.
"Nah, karena itu kita memerlukan suatu terobosan untuk membangun satu avenue, satu cara agar mitra-mitra investor dari luar negeri ini merasa nyaman dan siap untuk berinvestasi di Indonesia, baik untuk infrastruktur maupun untuk kebutuhan-kebutuhan pembangunan lain yang nanti akan kita bisa identifikasi dengan berjalannya waktu," ujarnya.
Tim Pengkaji Pembentukan SWF dari Kementerian BUMN Arief Budiman juga mengungkapkan bahwa BUMN sudah maksimal dalam mencari pembiayaan, dan SWF jadi solusi untuk Indonesia menghimpun dana.
"Tadi di halaman pertama Pak Isa sudah menyampaikan memang kapasitasnya untuk beberapa teman-teman BUMN istilahnya sudah maksimal. Jadi diharapkan dengan adanya investasi baru, dana baru dapat dilakukan investasi baru baik oleh fund bersama LPI maupun oleh BUMN-nya," tambahnya.
(toy/zlf)