3 Fakta Terbaru Seputar Isu 'Kawin' Grab dan Gojek

3 Fakta Terbaru Seputar Isu 'Kawin' Grab dan Gojek

Soraya Novika - detikFinance
Jumat, 04 Des 2020 20:55 WIB
Kemenhub akhirnya menerbitkan aturan tentang ojek online. Ada sejumlah poin yang harus dipatuhi oleh para pengemudi ojol. Apa saja?
Foto: Pradita Utama

2. Merger Bisa Bikin Grab-Gojek Beromzet Rp 242 T/Tahun

Kabar penggabungan usaha atau merger Gojek dan Grab itu diyakini bisa bikin omzet keduanya naik signifikan. Dilansir dari Tech in Asia, jika kabar itu benar maka keduanya disebut bisa menghasilkan omzet hingga US$ 16,7 miliar atau setara Rp 242 triliun per tahun, sedangkan valuasinya bisa mencapai US$ 72 miliar atau sekitar Rp 1.000 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.500 pada 2025.

Kini, menurut salah satu sumber yang tidak mau disebutkan namanya menyebut detail akhir kesepakatan merger sedang dikerjakan di antara para pemimpin paling senior di setiap perusahaan, mengutip Bloomberg, Rabu (2/12). Entitas gabungan ini akan mengikutsertakan Masayoshi Son dari SoftBank Group Corp. yang merupakan investor utama Grab.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikabarkan, salah satu pendiri Grab Anthony Tan akan menjadi CEO dari entitas gabungan, sementara eksekutif Gojek akan menjalankan bisnis gabungan baru di Indonesia dengan merek Gojek.

3. Ditolak Driver

ADVERTISEMENT

Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO), Taha Syafaril mengaku tidak setuju terkait merger Gojek dan Grab. Dia menilai penggabungan usaha itu dapat melanggar hukum dan bisa menimbulkan monopoli.

"Itu merupakan upaya penguasaan bisnis transportasi online di Indonesia dan secara UU ini pelanggaran hukum, ini monopoli. Kami tidak setuju," kata pria yang akrab disapa Ariel saat dihubungi detikcom.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua Presidium Nasional Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), Igun Wicaksono. Jika kedua perusahaan startup terbesar di Asia Tenggara itu digabung, khawatir ada permainan pasar yang bisa mempengaruhi tarif karena keduanya sangat dominan.

"Kalau dari kami kurang setuju ada merger karena dikhawatirkan akan menimbulkan persaingan tidak sehat, artinya mereka bisa melakukan monopoli pasar. Dengan adanya merger pastinya mereka akan menjadi sangat dominan nanti di pasar, sehingga bisa menimbulkan pengaruh, baik itu dari sisi tarif," kata Igun.


(fdl/fdl)

Hide Ads