Dan berikut ini data bencana di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
![]() |
Pakar pertanian yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengkritik proyek Food Estate di area eks-PLG. Sebab di area tersebut tidak memenuhi 4 pilar syarat sebagai lahan area Food Estate. Keempat pilar tersebut, pertama soal kelayakan lahan dan agroclimate. Kedua, kelayakan infrastruktur yang meliputi: jaringan irigasi, tata kelola air, jaringan transportasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pilar ketiga, kelayakan teknologi dan keempat persyaratan sosial ekonomi. "Nah di area eks PLG yang memenuhi 4 pilar tersebut sangat kecil. Sehingga pemerintah hanya buang-buang uang di wilayah tersebut untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya," kata Andreas.
Dia pun mengingatkan agar pemerintah tak terlalu berharap banyak di area eks-PLG. Sebab kawasan tersebut yang bisa digunakan sebagai area pertanian tidak banyak. Bahkan jumlahnya diperkirakan tak bisa mencapai ribuan hektare. Di Dadahup, Pulang Pisau misalnya, dari hasil foto udara terlihat hanya 1,2 persen wilayahnya yang ada jaringan irigasinya.
Kritik juga disampaikan Alma Alventa PHD, pemerhati lingkungan gambut di Kalimantan Tengah yang meraih gelar Phd di bidang Kualitas Sumber Daya Air dari Universitas Manchester, Inggris. Menurut dia program Food Estate di kawasan eks-PLG ini bertolak belakang dengan rencana awal pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait program restorasi gambut.
Dia ingat betul setelah terjadi kebakaran hebat di kawasan eks-PLG pada 2015, Presiden Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Tujuannya untuk mengembalikan ekosistem gambut ke fungsi awal sehingga tidak terjadi kebakaran dan bencana lainnya di kawasan eks-PLG.
BRG pun, lanjut Alma, sudah mengeluarkan peta restorasi gambut. Namun di tahun 2020 ini, pemerintah justru membuat kebijakan membuka lahan pertanian di area eks-PLG yang rencana awal 900 ribu hektar, kemudian berubah menjadi 300 ribu hektar dan terakhir turun lagi jadi
160 ribu hektare.
"Ini 180 derajat (berubah) dari arah posisi kondisi lahan eks PLG yang diarahkan untuk restorasi sesuai aslinya," kata Alma dalam sesi Webbinar dengan tema, Food Estate Reborn 2020, Untuk Siapa? yang diselenggarakan Pantau Gambut pada 19 September 2020.
Padahal sebelum ada rencana proyek Food Estate, area eks-PLG sudah mengalami banyak masalah akibat rusaknya lahan gambut. Salah satunya akibat adanya konsesi lahan sawit, terjadi penurunan muka tanah atau Subsidence di area eks-PLG. Penurunan itu terjadi setiap tahun dan bisa semakin cepat sehingga tanah makin rendah dan kian rawan banjir serta instrusi air laut.
"Di Dadahup sudah terjadi subsidence (penurunan muka tanah) sehingga sering terjadi banjir yang mengakibatkan gagal panen," kata Alma.
Kritik atas proyek Food Estate juga disampaikan oleh Muliadi dari Yayasan Petak Danum. Menurut dia ekosistem gambut di sekitar area eks-PLG rusak akibat pembangunan dan rehabilitasi kanalisasi. Akibatnya di daerah tersebut kini rawan dan sering terjadi banjir. Ditambah sejak 2004 lalu terjadi alih fungsi beberapa lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Rusaknya ekosistem gambut menyebabkan munculnya bencana kebakaran dan banjir. "Banjir, dulu banjir tidak selama sekarang. Sekarang 3 sampai 4 bulan masih banjir," kata Muliadi.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementerian Pertanian Sarwo Edhy memastikan bahwa proyek Food Estate di area eks-PLG sudah melalui studi mendalam. Salah satu studi menunjukkan bahwa lahan Food Estate yang sedang digarap berada di lahan yang berupa rawa rawa dengan kedalaman di bawah 1 meter. "Kami sudah melakukan studi bahwa lahan-lahan yang sudah kita garap itu tidak mengganggu lahan gambut," kata Sarwo kepada detikFinance.
Menurut dia justru lahan yang diolah tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi daerah yang selama ini rawan terjadi kebakaran. "Sehingga ke depan diharapkan tidak ada kebakaran-kebakaran lagi seperti tahun lalu," kata Sarwo.
(erd/pal)