Ia mengatakan, Kementan tak bisa mengintervensi harga telur ayam dari sisi produsen atau peternak. Di sisi lain, konsumen sedang mengalami tekanan ekonomi dari pandemi Corona. Oleh sebab itu, untuk mengendalikan harga telur diperlukan kebijakan yang berada di tengah konsumen dan produsen, yakni distribusi.
"Kita bantu produsen mendistribusikan telurnya ke pasar. Atau kalau misalnya harga tidak bisa direm dengan cara yang sudah kita mulai lakukan sekarang, ya harus operasi pasar mau tidak mau. Operasi pasar ini tidak mengganggu produsen. Pemerintah atau pelaku yang ditunjuk pemerintah membeli ke produsen dengan harga jual dari produsen itu, sehingga menguntungkan bagi produsen atau peternak. Tapi, biaya transportasinya yang kita subsidi. Jadi biaya transportasi atau distribusi tidak membebani harga jual," papar Inti.
Kembali ke Syailendra, ia mengatakan kenaikan harga telur ayam juga disebabkan oleh kurangnya pasokan di pasar.
"Menurut informasi dari peternak layer terdapat potensi penurunan pasokan, yang salah satunya merupakan imbas dari harga ayam broiler (pedaging) yang sempat tinggi pada periode sebelumnya yang mengakibatkan sebagian ayam layer (petelur) beralih ikut memasok pasar broiler atau diafkir/kapasitas ayam ras petelur berkurang. Sehingga berdampak pada berkurangnya pasokan telur ayam ras saat ini," ujar Syailendra.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demi mengatasi harga telur ayam terus naik, ia akan berkomunikasi dengan peternak untuk menjaga ketersediaan pasokan demi memenuhi permintaan yang tinggi.
"Terkait kondisi dimaksud, kami terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait serta dengan perusahaan perunggasan, dan asosiasi peternak untuk menjaga ketersediaan pasokan baik daging ayam maupun telur ayam ras di masyarakat, dengan tetap menjaga keterjangkauan harga bagi masyarakat terutama di tengah pandemi COVID-19, baik disalurkan melalui bansos pusat maupun daerah, pasar rakyat/ritel," tandas dia.
(ara/ara)