DPR Pertanyakan Nasib Impor Produk Hortikultura Era UU Cipta Kerja

DPR Pertanyakan Nasib Impor Produk Hortikultura Era UU Cipta Kerja

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 19 Jan 2021 15:49 WIB
Dirjen Hortikultura Spudnik Sujono mengecek persiapan panen cabai dan bawang di Cirebon
Ilustrasi/Foto: Tri Ispranoto/detikcom
Jakarta -

Undang-undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja turut merombak ketentuan impor produk hortikultura seperti bawang putih, bawang bombai, kentang, buah-buahan, dan sebagainya. UU tersebut menghapuskan ketentuan rekomendasi impor seperti apa yang tertuang dalam UU 13/2010 tentang hortikultura.

Adapun rekomendasi tersebut mengacu pada rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) yang diterbitkan Menteri Pertanian (Mentan).

Perubahan itu pun dibahas dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Kementan dan Komisi IV DPR RI. Anggota Komisi IV Slamet dari fraksi PKS mempertanyakan bagaimana pemerintah mengendalikan impor produk hortikultura apabila RIPH dihapus dari ketentuan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagaimana kemudian Kementan melakukan penyesuaian terkait RIPH? Kalau melihat pesan Pak Presiden, harus ada pengendalian impor. Sementara pengendalian impor itu dilakukan melalui RIPH. Di saat UU diputuskan begitu, kira-kira penyesuaiannya di mana?" kata Slamet, Selasa (19/1/2021).

Adapun bunyi pasal yang diubah di UU Cipta Kerja, yakni pasal 88 ayat (2) sebagai berikut:

ADVERTISEMENT

"Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat."

Kemudian, ayat (4) juga diubah sebagai berikut:

"Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah."

Sementara itu, sebelumnya dalam UU 13/2010 tepatnya di pasal 88 ayat (2) mewajibkan rekomendasi menteri terkait, adapun bunyinya sebagai berikut:

"Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah mendapat izin dari menteri yang bertanggungjawab di bidang perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri."

Lalu, pasal 88 ayat (5) berbunyi:

"Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian rekomendasi dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tata cara penetapan pintu masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan produk segar hortikultura impor tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri."

Dikarenakan dalam pasal 88 ayat (4) UU Cipta Kerja ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang sampai saat ini belum terbit, Anggota Komisi IV Abdullah Tuasikal dari fraksi Nasdem mewanti-wanti adanya ancaman kekosongan hukum, terutama terkait dengan keamanan produk hortikultura yang diimpor. Abdul khawatir, dengan belum terbitnya PP maka keamanan produk impor tak lagi diawasi.

"RIPH merupakan bagian dari jaminan Kementan atau produksi impor yang sudah jalan sekian lama, terancam tidak lagi diberlakukan. Karena itu diperlukan langkah alternatif untuk memberikan rumusan alternatif terkait perlindungan dalam PP yang harus segera diterbitkan. Karena produk impor bagaimanapun harus hati-hati, karena yang mengkonsumsi adalah rakyat. Bagaimana langkah pemerintah menghadapi kekosongan hukum tidak berdampak buruk terhadap keamanan produk impor," tegas Abdullah.

Terkait belum terbitnya PP untuk impor produk hortikultura itu juga disoroti oleh Anggota Komisi IV Alien Mus dari fraksi Golkar. Menurutnya, pemerintah harus segera memberikan kejelasan terkait ketentuan yang mengatur keamanan produk impor tersebut.

"Berdasarkan data dari UU Cipta Kerja, impor produk hortikultura tidak memerlukan rekomendasi dari menteri teknis terkait, melainkan cukup memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat yang diatur dalam PP. Saya merasa bahwa 2021 ada kekosongan hukum mengeluarkan RIPH. Ini mohon dijelaskan," tutup Alien Mus.

(eds/eds)

Hide Ads