Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah Indonesia (Aesbi) Hasan Johnny mengungkapkan kesulitan yang berbeda untuk ekspor buah. Menurutnya, sertifikasi bukan masalah utama sulitnya ekspor pisang ke luar negeri. Hasan justru kaget mendengar pernyataan ada 21 sertifikat yang menghambat ekspor.
"Kalau sampai 21 sertifikat ini saya baru dengar ya. Apa mungkin dibesar-besarkan aja ya," kata Hasan kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, ekspor pisang ke beberapa negara tak banyak mensyaratkan sertifikasi, contohnya ke China dan Singapura. Kalaupun ada yang mensyaratkan sertifikat itu pun tidak banyak, umumnya negara-negara tujuan ekspor hanya mensyaratkan sertifikat good agriculture practices (GAP) ataupun fitosanitari.
"Sekarang tuh kayaknya banyak yang nggak pakai sertifikasi malah, Singapura, ke China aja nggak ada. Asal kualitas yang dia mau dan jumlahnya ada. Mungkin ada sertifikat tapi ngga banyak, ada good agriculture practices atau GAP, atau ada fitosanitari juga, tapi nggak sampai 21," papar Hasan.
Terkait Eropa dan Amerika, menurut Hasan memang wilayah tersebut bukan pasar utama ekspor buah. Ia mengatakan, cukup sulit mengirimkan buah ke sana karena jarak yang terlalu jauh.
Secara keseluruhan, menurutnya ada 4 masalah yang menyulitkan ekspor di Indonesia yakni kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan komitmen. Menurutnya, selama ini kualitas dan kuantitas produk buah-buahan, tak terkecuali pisang memang masih sangat kurang. Kalaupun bisa diekspor, itu hanya bisa sekali-sekali saja dan tidak terus menerus.
"Sering sekali keinginan ada mau ekspor ini itu tapi komitmen nggak ada. Harga nggak jadi problem buat orang luar, begitu kita mau ekspor kuantitasnya nggak ada, kualitas ada jumlahnya sedikit. Giliran bisa dua duanya nggak bisa kontinu," tandas Hasan.
(vdl/fdl)