Setahun Corona, Mal dan Ritel Mulai Pulih Setelah 'Digebuk' Pandemi

Setahun Corona, Mal dan Ritel Mulai Pulih Setelah 'Digebuk' Pandemi

Soraya Novika - detikFinance
Selasa, 02 Mar 2021 14:58 WIB
Pengunjung pusat perbelanjaan Senayan City memadati mal tersebut untuk berburu barang dalam ajang Midnight Sale, Jakarta, Jumat (1/6/2018) malam. Untuk meramaikan puasa di bulan Ramadan 2018 dan jelang Lebaran, sejumlah mal di Jakarta pun menggelar midnight sale. Grandyos Zafna/detikcom

Setiap mal pun menawarkan program diskon yang menggiurkan. Berbagai benda dan barang kebutuhan sehari-hari, kebutuhan liburan, sampai kebutuhan Lebaran tak ketinggalan mendapat sale sampai dengan 70 persen lebih.
Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Setahun Corona, pusat perbelanjaan atau mal hingga ritel mulai merasakan sedikit pemulihan. Sebelumnya, kedua bisnis tersebut sempat begitu terpuruk oleh pandemi COVID-19.

Kondisi paling terpuruk bagi kedua industri itu dirasakan saat pemerintah mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat pertama di bulan April 2020.

Saat itu, sekolah, toko-toko (ritel), perkantoran, mal, dan tempat wisata ditutup sementara. Jumlah penumpang transportasi umum pun dibatasi. Hal itu, otomatis membuat omzet di kedua bisnis tersebut turun drastis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang terpuruk itu kayaknya saat nggak boleh buka mal sama sekali beberapa bulan tuh, bulan 4,5,6 itu bukan terpuruk lagi, orang tidak boleh buka, jadi paling berat, itu paling parah," ujar Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah kepada detikcom, Selasa (2/3/2021).

Hal yang memberatkan adalah karena kebijakan itu diberlakukan saat momen libur lebaran yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan tertinggi bagi pengusaha ritel dalam setahun. Lantaran, para pengusaha ritel saat itu, sudah menyiapkan stok barang dari awal tahun, tapi karena diberlakukan PSBB, akhirnya banyak barang yang terpaksa dijual murah agar tidak terbuang sia-sia.

ADVERTISEMENT

"Nah itu mulai ambruk cashflow di situ, uangnya dalam bentuk stok tidak bisa keluar, dijual rugi, dijual murah, supaya berputar, akhirnya terjadi penurunan," terangnya.

Ia mengibaratkan, misal omzet seluruh peritel di Indonesia bisa mencapai Rp 450 triliun/bulan. Namun, karena ada PSBB ketat karena pandemi, ritel pada tutup, maka total kerugian bisa mencapai ratusan triliun rupiah per bulannya.

"Kerugiannya ratusan triliun sebulan, artinya tidak ada omzet, rugi," katanya.

Namun, kini kondisi sektor ritel sudah mulai membaik dari kondisi paling terpuruk tadi. Terutama di saat-saat ada momen libur nasional atau cuti bersama maupun saat diadakan diskon besar-besaran.

"Pada saat ada lebaran, ataupun kemarin hari belanja diskon, lalu ada tahun baru, itu animo konsumen tidak bisa ditahan, mereka tetap belanja, baik secara offline maupun online," tuturnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Lihat juga Video: Prioritas Vaksin, Jokowi Ingin Pegawai Mal hingga Sektor Jasa

[Gambas:Video 20detik]



Ia optimistis momentum perbaikan ini akan terus terjadi terutama jelang lebaran di bulan Mei 2021.

"Sekarang sudah mulai naik pelan-pelan, jadi puncaknya kami harapkan di bulan 5 saat lebaran itu," imbuhnya.

Hal serupa disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja. Momen terpuruk bagi pusat perbelanjaan terjadi di triwulan II-2020 di saat pemerintah menerapkan PSBB ketat yang pertama kali.

Saat itu kondisinya, pusat perbelanjaan tidak boleh beroperasi sama sekali kecuali untuk supermarket dalam mal dan ATM, sehingga tingkat kunjungan di mal saat itu tidak lebih dari 10% dibanding sebelum pandemi.

Saat masuk PSBB transisi, mal diizinkan beroperasi dengan kapasitas 50%. Akan tetapi, tingkat kunjungan tak banyak mengalami peningkatan signifikan yakni tak lebih dari 30-40%. Saat ini pun serupa, ada peningkatan tapi tak lebih dari level tersebut.

"Kondisi tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan saat ini masih 30-40% saja. Ada peningkatan sedikit jika dibanding awal COVID-19 mewabah di Indonesia," kata Alphonzus.

Peningkatan itu terjadi karena masyarakat sudah semakin terbiasa dengan berbagai pembatasan dan protokol kesehatan.

"Kalau daya beli justru sebaliknya, saat ini kondisinya justru lebih rendah dibanding satu tahun yang lalu. Hal itu tercermin jelas dengan pertumbuhan ekonomi yang mencatat kontraksi yang cukup dalam," timpalnya.


Hide Ads