Jakarta -
15 ribu nelayan dan petani rumput laut di NTT menang gugatan atas kasus tumpahan minyak Montara. Pengadilan federal Australia di Sydney memutuskan perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP) bersalah dalam kasus tumpahan minyak Montara.
Hal itu diketahui dalam keterangan tertulis Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jumat (19/3/2021). Hakim Pengadilan Federal untuk kasus ini David Yates dalam putusannya menyatakan bahwa PTTEP tidak menyanggah bukti bahwa mereka telah lalai dalam operasinya di ladang minyak Montara dan hakim memutuskan menghukum perusahaan tersebut.
PTTEP dihukum untuk membayar ganti rugi atas kasus ini sebesar Rp 252 juta atau sekitar 22.500 dolar Australia. Hakim David Yates juga menyebutkan bahwa tumpahan minyak tersebut menyebabkan kerugian secara material dan menyebabkan kematian serta rusaknya rumput laut yang menjadi mata pencaharian para petani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini berawal dari tumpahan minyak yang terjadi pada pada 21 Agustus 2009 saat anjungan minyak di lapangan Montara milik PTTEP meledak di lepas landas kontinen Australia. Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari.
Tumpahan minyak itu juga berdampak hingga ke pesisir Indonesia. Luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter persegi. Pemerintah menemukan ada 13 kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.
Sementara itu Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan peran pemerintah lewat gugus tugas penanganan kasus Montara. Luhut menilai kemenangan para petani tidak lepas dari pembentukan satuan tugas khusus untuk mengurus kasus tumpahan minyak Montara yang dibentuk pada Agustus 2018.
Luhut menjelaskan satuan tugas yang dibentuk bekerja dengan keras untuk menyatukan pandangan pemerintah dan nelayan di Laut Timor untuk memenangi gugatan.
"Kami mengumpulkan data dan bukti yang dibutuhkan agar kami punya dasar yang kuat di pengadilan. Setelah itu Satgas datang ke berdialog dengan otoritas terkait tentang kasus ini serta mendukung secara maksimal gugatan yang diajukan masyarakat NTT ke pengadilan federal Australia," ujar Luhut dalam keterangannya, Jumat (19/3/2021).
Adapun data yang dikumpulkan Satgas untuk menjadi dasar tuntutan tersebut adalah data dari citra satelit LAPAN, data sampel minyak di Pulau Rote, data kualitas air, serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat di wilayah Timor Barat.
Luhut juga mengatakan satuan tugas membantu koordinasi pengiriman ahli-ahli dari lembaga peneliti terkemuka di Indonesia untuk menjadi saksi di sidang pengadilan di Australia.
Selanjutnya tentang perjalanan gugatan tumpahan minyak Montara. Langsung klik halaman berikutnya.
Dalam catatan detikcom, penyelesaian kasus
tumpahan minyak Montara memang sangat alot. Bahkan lebih dari satu dekade baru bisa diselesaikan. Pada tahun 2019 lalu, pemerintah baru mendesak kembali Australia untuk menyelesaikan kasus tersebut yang berujung disepakatinya ganti rugi untuk Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman yang saat itu dijabat Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, selama ini pemerintah Australia merasa tak memiliki tanggung jawab atas permasalahan tersebut. Itu yang menyebabkan kasus ini berlarut-larut.
"Kita akan diskusi ke Australia dan bilang bahwa pemerintah Australia harus tanggung jawab terhadap pencemaran laut Timor 2009 lalu. Sudah 10 tahun belum ada jawaban jelas," katanya di Kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta Pusat, Kamis (11/4/2019).
Purbaya menjelaskan sejak awal kasus ini terjadi, ada beberapa pihak yang terlibat atas kejadian tersebut. Mulai dari PTTEP, Australian Maritime Safety Authority (AMSA), perusahaan Halliburton, dan Sea Drill Norway.
Sebetulnya, pada 2010 telah dilakukan Nota Kesepahaman antara Dubes Australia Greg Moriarry dan Freddy Numbery. Itu merupakan titik awal penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara.
Sayangnya, nota kesepahaman itu cuma sebatas hitam di atas putih, tidak pernah sekalipun ditindaklanjuti oleh Australia. Bahkan pemerintah Indonesia sendiri.
"Hal ini tidak pernah ditindaklanjuti baik oleh Australia dan Indonesia, sehingga masih terkatung-katung sampai sekarang," ujarnya saat itu.
Permasalahannya pun bukan cuma berkutat di tumpahan minyak. Purbaya mengatakan, AMSA juga menggunakan bubuk kimia Dispersant jenis Corexit 9872 A dan lain-lain yang sangat beracun. Mereka menyemprotkan bubuk kimia ini untuk tenggelamkan sisa tumpahan minyak Montara ke dalam dasar Laut Timor.
"Akibatnya, 1 kali 24 jam banyak sekali ikan besar dan kecil mati termasuk di kawasan kita (Indonesia)," terangnya.
Pemerintah Indonesia intensif bergerak mengatasi masalah ini melalui Tim Montara Task Force. Satuan tugas itu memulai tugasnya dengan melakukan pertemuan secara langsung pada 20-27 April 2019 ini di Canberra, Australia.
Masih di tahun 2019, petani yang jadi korban pun melakukan aksi gugatan class action alias gugatan berkelompok lewat pengadilan federal Sydney pada Juni 2019.
Saat itu para petani dari kawasan Nusa Tenggara Timur menggugat ganti rugi sekitar 200 juta dolar Australia, atau lebih dari Rp 2 triliun. Mereka mengaku pendapatan mereka berkurang setelah adanya pencemaran tersebut.
Hingga akhirnya, perjuangan pemerintah dan petani baru mendapat titik terang di tahun ini, tepatnya setelah 12 tahun kasus bergulir tanpa penyelesaian dan alot. Gugatan yang diajukan dimenangkan dan pihak PTTEP dinyatakan bersalah.