Di Balik Wacana Impor, RI Pernah Swasembada Beras Loh

Di Balik Wacana Impor, RI Pernah Swasembada Beras Loh

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Minggu, 21 Mar 2021 16:59 WIB
Rencana impor beras oleh mendapat penolakan oleh sejumlah pihak, termasuk dari Dirut Perum Bulog. Yuk kita lihat stok beras Bulog di gudang Cimahi, Jawa Barat.
Foto: Wisma Putra
Jakarta -

Indonesia kembali dihadapkan pada wacana impor beras. Kali ini, pemerintah mewacanakan impor beras 1 juta ton.

Tentu, kondisi itu membuat banyak orang sedih. Sebab, Indonesia dikenal memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Meski demikian, patut diketahui Indonesia pernah tidak melakukan impor beras atau swasembada beras. Hal itu terjadi selama 3 kali yakni tahun 1983, 2004 dan 2008.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pemberitaan detikcom 14 Desember 2010 silam, Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih mengatakan, swasembada beras ini masih bersifat sporadis alias tidak berkesinambungan.

"Pengalaman swasembada beras kita sporadis tahun 1983, 2004 dan 2008. Bagaimana ini bisa berkelanjutan," katanya.

ADVERTISEMENT

Kala itu, Bungaran mengatakan selama ini kebijakan pemerintah melihat swasembada beras sebagai target saja. Namun bukan sebagai proses untuk mengembangkan institusi pertanian dan kemampuan di bidang pertanian.

"Ingat dua presiden sebelumnya jatuh karena beras, Soekarno karena Tritura, Soeharto karena krisis moneter, lalu krisis ekonomi dan krisis pangan," ucapnya.

Menurutnya, masalah beras harus bisa dipenuhi dari dalam negeri sendiri karena beras merupakan makanan pokok. Selain itu, beras sering berimplikasi pada masalah politik.

Dia bilang, swasembada diartikan tidak melakukan impor. Sementara puncak impor beras Indonesia pada tahun 1999 mencapai 5 juta ton dengan harga yang sangat tinggi.

Ia juga menambahkan seharusnya dari pengalaman swasembada selama 3 kali tersebut Indonesia bisa belajar banyak meski setiap periode memiliki tantangan yang berbeda. Contohnya, swasembada beras tahun 1983 relatif mengeluarkan dana subsidi yang lebih kecil walaupun pada waktu itu pemerintah mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencapai swasembada.

"Swasembada 2008 itu mahal dengan subsidi yang besar," katanya.




(acd/dna)

Hide Ads