Peternak ayam mandiri mengaku telah merugi selama dua tahun akibat adanya dugaan praktik kartel harga DOC. Kerugian disebut sudah mencapai Rp 5,4 triliun.
Sekjen Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Kadma Wijaya mengatakan kerugian itu disebabkan oleh adanya kartel harga DOC. Dia menilai harga DOC disepakati untuk dibuat mahal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan harga DOC yang mahal dia menilai hal ini membuat harga pokok produksi ayam potong alias livebird menjadi bengkak. Sementara harganya tidak bisa dinaikkan dan harus mengikuti mekanisme pasar yang diatur pemerintah.
"Mahalnya harga DOC ini berdampak pada saat panen, HPP yang terjadi kan lebih tinggi, sementara harga kan ikut pasar. Belum lagi, kalau supply banyak harga pasti turun. Ini lah mengapa peternak rugi 2 tahun nilainya Rp 5,4 triliun," ujar Kadma.
"Ini yang kita tuntut, apa yang mesti diberikan kepada kerugian ini selama 2019-2020," ujarnya.
Alvino pun juga ikut menjelaskan soal bagaimana kerugian terjadi dengan adanya praktik kartel. Dia menyebutkan harga livebird alias ayam potong cuma dipatok Rp 19.000 per ekor.
Harga itu dipatok dengan mempertimbangkan DOC di harga paling mahal Rp 6.000. Artinya bila DOC berada di harga RP 7.000 per ekor, harga ongkos produksi ayam potong yang dijual juga membesar.
"Livebird acuannya itu Rp 19.000 dasar perhitungannya dengan harga DOC Rp 6.000. Nah kalau DOC ini bisa Rp 7.000 harganya ya rugi lah kita, HPP-nya bertambah," ungkap Alvino.
(hal/eds)