Pengusaha: Ekonomi Belum Pulih, Jangan Naikkan Tarif Pajak!

Pengusaha: Ekonomi Belum Pulih, Jangan Naikkan Tarif Pajak!

Soraya Novika - detikFinance
Selasa, 11 Mei 2021 21:45 WIB
Coronavirus / Covid-19 Small Business Administration Paycheck Protection Program -  US small business administration response to the coronavirus pandemic a paycheck protection program application and tax documentation to help small businesses survive the pandemic and recession.
Ilustrasi bayar pajak/Foto: Getty Images/iStockphoto/mphillips007
Jakarta -

Pengusaha ikut mengkritisi rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menurut Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Herman Juwono, saat ini bukan waktu yang tepat menaikkan tarif pajak.

Apalagi bila dasar pertimbangan kenaikan pajak ini diambil dari mencontoh negara-negara maju yang lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Indonesia, sambung Herman belum pada level yang tepat buat ikut-ikutan.

Sebelumnya Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan alasan dibalik pertimbangan tersebut yakni menyoal pendanaan untuk penanganan COVID-19. Dalam mempelajari kenaikan PPN ini, pihaknya mengaku mempelajarinya dari praktik yang dilakukan di beberapa negara seperti Arab Saudi yang sudah menaikkan PPN dari 5% menjadi 15% di Juli 2020 lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jangan ikut-ikutan dulu karena kita mempunyai struktur yang berbeda. Sebelum COVID-19 saja (menaikkan pertumbuhan ekonomi) dari 5,3% ke 5,5% susah banget. Selama pemerintah Jokowi juga selama 5 tahun sampai 6% juga nggak nyampe-nyampe. Dia kan waktu itu selalu obral 7%, itu nggak nyampe-nyampe lho," ujar Herman kepada detikcom, Selasa (11/5/2021).

Apabila alasannya untuk menambah dana penanganan COVID-19, maka jangan naikkan tarif PPN di semua sektor ekonomi apalagi di sektor-sektor yang paling dibutuhkan masyarakat seperti makanan dan minuman. Kalau bisa, sambung Herman, untuk sektor-sektor yang berkenaan dengan kebutuhan pokok masyarakat, harusnya diturunkan tarif pajaknya.

ADVERTISEMENT

Sedangkan untuk barang-barang mewah silahkan saja dinaikkan.

"Nggak apa-apa, tapi jangan sampai membuat tarif untuk yang produk kepentingan rakyat, contohnya minyak goreng, sabun, kebutuhan sehari-harilah, makan dan minuman itu juga jangan. Malah kalau bisa itu diturunkan," imbuhnya.

Itu pun, kata Herman, ada baiknya tarif PPN itu dinaikkan setelah Indonesia mampu mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif dulu. Lebih baik, pemerintah fokus pada penanganan COVID-19 dan kebijakan lain yang paling efektif memulihkan ekonomi nasional dulu.

"Kalau ekonomi itu belum pulih, jangan dulu deh sebetulnya, tunda dulu. Kemarin saja masih kontraksi 0,7%, nah nanti lihat nih, kalau triwulan II ini sudah positif ya boleh lah. Tetapi dikasih ancang-ancang, jangan tiba-tiba. Lakukanlah di Triwulan ke-4, dikasih tau dulu," tuturnya.

Masih ada lagi kritikan dari pengusaha soal rencana kenaikan PPN. Langsung klik halaman berikutnya.

Hal serupa disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Hariyadi berharap pemerintah bisa lebih dulu berdiskusi dengan dunia usaha tentang sektor-sektor apa saja yang bisa dinaikkan tarif pajaknya dan mana yang tidak.

"Dunia usaha itu berharap semua regulasi dengan PPN itu didiskusikan dulu, sehingga kebijakan itu menjadi lebih optimal," kata Hariyadi.

Menurut Hariyadi, rencana menaikkan tarif PPN ini harus melihat dulu kondisi sektor di lapangan seperti apa. Sama dengan Herman, untuk sektor-sektor yang bergerak pada kebutuhan dasar masyarakat lebih baik tidak naikkan melainkan diturunkan dulu, untuk mendorong daya beli.

"Tergantung tingkat konsumsinya bagaimana, sensitivitasnya bagaimana. Misalnya, ada satu produk atau sektor yang memang kalau PPN nya besar itu tidak akan menganggu dari konsumsi, ya naikkan saja," sambungnya.

"Tapi kalau itu terkait dengan konsumsi masyarakat luas apalagi konsumsi masyarakat menengah bawah, ya jangan! Bahkan kalau perlu diturunkan PPN-nya," imbuhnya.


Hide Ads