Rencana Pajak Sembako Dikritik, Bisa Ganggu Pemulihan Ekonomi

Rencana Pajak Sembako Dikritik, Bisa Ganggu Pemulihan Ekonomi

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Rabu, 09 Jun 2021 14:20 WIB
Warga ramai-ramai mendatangi RPTRA Budi Mulia di Pademangan, Jakarta Utara. Bukan tanpa alasan, kedatangan mereka untuk berburu sembako murah.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Rencana pemerintah terkait pengenaan pajak pada barang kebutuhan pokok dikritik berbagai kalangan. Sebelumnya Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) juga memprotes rencana tersebut.

Anggota DPR RI Mufti Anam menyebut jika hal itu diberlakukan maka momentum pertumbuhan ekonomi yang saat ini berjalan akan terpukul. Ia menjelaskan saat ini ekonomi nasional sudah berada di momentum pemulihan.

"Tantangan kita ada pada upaya menahan laju kenaikan kasus aktif COVID-19. Daya beli perlahan tumbuh. Kalau kebutuhan pokok dikenakan PPN, berarti pemulihan ekonomi dipukul mundur," kata dia, Rabu (9/6/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apalagi juga ada rencana pemerintah untuk mengerek besaran PPN menjadi 12% dari sebelumnya 10%.

"Sekarang daya beli belum pulih, tapi bisa langsung kena beban tambahan pajak. Ya spending masyarakat akan tertahan, padahal itu (belanja masyarakat) adalah kunci pemulihan dan jantung pertumbuhan ekonomi kita," jelas dia.

ADVERTISEMENT

Seperti ramai diberitakan, selain ada rencana mengerek pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%, pemerintah menyiapkan skema PPN terhadap barang kebutuhan pokok. Hal tersebut tertuang dalam rencana revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sebelumnya, sembako adalah obyek yang tidak dikenakan pajak, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Keuangan 116/PMK.010/2017. Barang kebutuhan pokok itu adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Mufti Anam menyebut minimal ada dua dampak buruk bila rencana mengenakan PPN terhadap sembako itu terwujud. Pertama, meningkatkan inflasi.

"Jelas bahwa PPN akan membuat harga barang naik, inflasi terjadi. Kalau inflasi meningkat, otomatis dong daya beli warga makin tertekan. Kalau daya beli warga minim, ekonomi tidak akan bergerak," ujar Mufti yang juga anggota Badan Anggaran DPR RI.

Dampak kedua, paparnya, membuat upaya pengentasan kemiskinan semakin sulit dilakukan. Dia mengingatkan bahwa konsumsi terbesar masyarakat miskin tersedot untuk kebutuhan pangan.

"Kan di data BPS itu, bahan makanan memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan, sekitar 73,8% dari total garis kemiskinan, per September 2020. Kontribusi bahan makanan terhadap garis kemiskinan terus naik lho, jika dibandingkan September 2019 ke September 2020 itu ada kenaikan 4%," ujarnya.

"Intinya, kalau harga pangan naik, maka angka kemiskinan akan naik. Ini harus dipikirkan betul oleh pemerintah," imbuh politisi dari Pasuruan, Jatim, tersebut.

Mufti menyarankan agar Menteri Keuangan lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan di tengah pandemi COVID-19.

"Saya menyadari ada tantangan shortfall pajak, tapi tetap harus kreatif, jangan sembako dikenakan PPN. Justru ketika inflasi tinggi, lalu kemiskinan naik, ekonomi akan susah rebound dan otomatif penerimaan pajak juga masih akan seret," jelas dia.


Hide Ads