Dilema Pekerja Takut Laporkan Kantor Saat PPKM Darurat, Aku Kudu Piye?

Dilema Pekerja Takut Laporkan Kantor Saat PPKM Darurat, Aku Kudu Piye?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 06 Jul 2021 15:50 WIB
poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

PPKM Darurat sudah diberlakukan sejak 3 Juli hingga 20 Juli mendatang. Kemarin, yang merupakan hari kerja pertama di masa PPKM Darurat ini dilaksanakan, tidak berjalan mulus.

Banyak pekerja yang terjebak kemacetan karena penutupan jalur-jalur masuk ke Jakarta. Ini artinya masih banyak perkantoran yang mengharuskan pekerjanya masuk ke kantor. Selain itu juga banyak kantor yang meminta pegawainya WFO padahal banyak yang positif COVID-19.

Hal ini menjadi dilema untuk pegawai yang khawatir tertular virus, sampai khawatir dikeluarkan dari pekerjaan jika melaporkan ke satgas COVID-19 daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra P.G. Talattov mengungkapkan dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan harus menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak pekerja yang melaporkan.

"Jadi kalau ada pekerja yang melapor dan mendapat tekanan balik dari perusahaan non esensial yang masih memaksa masuk kerja ke kantor. Maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan harus melindungi," kata dia saat dihubungi detikcom, Selasa (6/7/2021).

ADVERTISEMENT

Dia mengungkapkan pemerintah juga harus memberikan jaminan subsidi upah minimal selama masa advokasi atau mediasi yang dilakukan pemerintah.

Abra mengungkapkan, memang masih banyaknya orang yang bekerja dari kantor tak sepenuhnya salah perusahaan. Seharusnya pemerintah juga memiliki data berapa banyak pekerja formal di Jakarta yang bisa WFH dan WFO.

"Apakah pemerintah selama ini datanya sudah cukup jelas? Lalu juga harus ada tindakan tegas untuk kantor yang melanggar. Bisa dengan mengumumkan contoh sanksi ke publik," tambah dia.

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan saat ini ancaman dan gertakan kepada pengusaha, buruh, dan masyarakat tidak dibutuhkan.

Tetapi yang lebih dibutuhkan adalah tindakan nyata dari menteri dan pejabat terkait, yang secara bijaksana mencegah penularan COVID-19 dengan memberikan gratis masker, obat, vitamin, hingga imboost kepada buruh dan masyarakat melalui jaringan klinik dan apotek BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia, khususnya kepada buruh yang isoman agar tidak menular ke klaster keluarga.

"Di samping itu, pemerintah dapat mengatur waktu operasional pabrik untuk menghindari ledakan PHK, merumahkan karyawan, atau memotong gaji karyawan. Kebijakan ini yang ditunggu buruh dan rakyat, bukan ancaman menteri dan sekedar omongan tidak boleh ada PHK," lanjutnya.

"Persoalan dilematis mengenai kesehatan dan ekonomi atau ledakan PHK harus dirumuskan dalam kebijakan pemerintah yang tepat dan terukur, bukan dengan ancaman atau gertakan," lanjut Said Iqbal.




(kil/das)

Hide Ads