Lebanon Krisis karena Utang Meroket dan Korupsi, RI Perlu Waspada?

Lebanon Krisis karena Utang Meroket dan Korupsi, RI Perlu Waspada?

Siti Fatimah - detikFinance
Sabtu, 10 Jul 2021 18:00 WIB
Krisis ekonomi yang parah membuat Lebanon disebut bagai neraka oleh warganya sendiri. Hiperinflasi dan kelangkaan bahan pokok membuat situasi tak tertahankan.
Ilustrasi/Foto: Getty Images/Spencer Platt

Sementara itu, Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan, utang luar negeri mempunyai risiko gagal bayar. Menurutnya, pemerintah harus mempunyai cukup devisa (dolar) untuk bayar bunga dan utang luar negeri.

"Artinya neraca transaksi berjalan harus surplus. Kalau defisit, maka utang luar negeri harus bertambah besar karena defisit tersebut harus dibiayai lagi dari utang. Jadi, bayar utang tergantung apakah investor asing mau memberi utang. Kalau terhenti, maka akan memicu krisis valuta dan krisis ekonomi," jelas Anthony saat dihubungi secara terpisah.

Lebih lanjut, dia mengatakan neraca transaksi Indonesia masih berjalan defisit sejak 2012. "Jadi ada ketergantungan dari investor asing, dan ada potensi gagal bayar kalau asing stop membeli surat utang negara," pungkasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai informasi, sebelum pandemi virus Corona (COVID-19) pada awal tahun 2020, Lebanon sudah menunjuk tanda-tanda menuju kehancuran. Pada awal Oktober 2019, negara tersebut kekurangan mata uang asing sehingga membuat nilai mata uang pound Lebanon melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Elit penguasa pun menjadi sasaran kemarahan publik karena telah mendominasi politik selama bertahun-tahun, dan mengumpulkan kekayaan mereka sendiri sementara gagal melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah negara.

ADVERTISEMENT

Akhir tahun 2019 juga terungkap bahwa negara tersebut melakukan praktik yang disebut para analis skema piramida atau skema Ponzi, di mana bank sentral berutang kepada bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas rata-rata pasar. Utang tersebut untuk membayar utang lainnya dan mempertahankan Lebanon.

Bank sentral Lebanon telah mensubsidi bahan bakar, obat-obatan, dan bahan makanan melalui nilai tukar preferensial, tetapi dengan cepat kehabisan dana karena tidak adanya pemerintahan yang menstabilkan ekonomi. Hasilnya adalah kelangkaan parah tidak hanya bahan bakar untuk listrik tetapi juga obat-obatan yang banyak digunakan mulai dari antibiotik hingga perawatan jantung dan kanker, serta bensin.


(eds/eds)

Hide Ads