Pengusaha Bantah Paksa Buruh Kerja Meski Positif COVID-19

Pengusaha Bantah Paksa Buruh Kerja Meski Positif COVID-19

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Rabu, 21 Jul 2021 12:19 WIB
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di Patung Kuda, Monas, Jakarta, Senin (12/4/2021).  Puluhan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) hari ini menggelar aksi untuk menyampaikan tuntutan di patung kuda dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ilustrasi Buruh/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Pengusaha menepis kabar buruh yang terpaksa tetap kerja meskipun positif COVID-19. Mereka menilai pengelola pabrik tidak akan mungkin mengizinkan adanya pekerja yang positif COVID-19 untuk tetap bekerja.

Sebelumnya, fakta mengejutkan terungkap dari laporan serikat buruh. Mereka menyampaikan masih banyak anggotanya yang terkonfirmasi positif COVID-19 dan terpaksa tetap bekerja, utamanya di sektor industri tekstil, garmen, sepatu, dan kulit.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa menegaskan tak pernah ada paksaan dari pengusaha kepada pekerja yang positif COVID-19 untuk tetap bekerja. Dia justru mengatakan bila ada pabrik yang memaksa pekerja yang positif COVID-19 bekerja seharusnya dilaporkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau orang sakit dipaksa bekerja kami nggak menemukan ya, kalau memang ada ya mending dilaporkan. Saya rasa nggak mungkin orang sakit disuruh kerja, owner-nya yang malah stres kalau nanti ada kasus besar," ungkap Jemmy dalam konferensi pers Apindo-Kadin, Rabu (21/7/2021).

Menurutnya, perusahaan tak mungkin membiarkan adanya penyebaran COVID-19 di pabrik. Maka dari itu dia menegaskan tidak ada buruhˇ yang positif COVID-19 dan tetap bekerja.

ADVERTISEMENT

"Kalau spread dan positivity case meningkat kan merugikan perusahaan juga ya. Jadi, itu kondisi tidak benar. Secara nalar dan akal sehat tidak akan terjadi ya," kata Jemmy.

Jemmy juga menegaskan perusahaan pasti menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Dia menilai hal itu sudah menjadi komitmen para pengusaha tekstil. Soal protokol kesehatan pun sebelumnya juga dikeluhkan buruh tidak dilakukan di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja.

"Mengenai penggunaan APD, protokol kesehatan, dan lain-lain, itu sudah jadi standar kami. Kami sudah minta dijalankan, kami ingatkan anggota bekerja sama untuk tekan positif case menurun," ungkap Jemmy.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi Lukman menambahkan, selama ini semua industri masuk sektor kritikal dan beroperasi dengan protokol kesehatan ketat, termasuk juga industri makanan dan minuman. Dia memaparkan pengusaha pun harus melengkapi diri dengan surat izin dan laporan berkala ke Kementerian Perindustrian.

"Kami ini masuk industri kritikal, kami memang boleh operasi dan kami lakukan protokol kesehatan ketat. Kami harus ada izin IOMKI dan kami lapor berkala ke Kemenperin, selama ini laporan dari anggota makanan minuman ini tidak ada hambatan," ungkap Adhi.

Saking ketatnya protokol kesehatan di kawasan industri, menurut Adhi saat ini sebetulnya sudah tidak ada penularan COVID-19 secara signifikan di pabrik-pabrik. Malah menurutnya, yang seharusnya diperketat adalah protokol kesehatan di lingkungan setingkat RT/RW.

"Penularan ini bukan dari industri, karena kami sudah ketat, tapi sekarang justru kebanyakan dari penularan rumah tangga. Harusnya RT/RW diperketat supaya tak ada penularan," kata Adhi.

Simak juga video 'KSPI Bicara PPKM Darurat: Ledakan PHK di Depan Mata':

[Gambas:Video 20detik]



Buruh beberkan fakta lain. Cek halaman berikutnya.

Sebelumnya, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti mengatakan saat ini banyak perusahaan yang mengubah status buruhnya menjadi pekerja kontrak atau borongan. Dengan perubahan status itu membuat pemberian upah buruh sesuai dengan jam kerja harian.

Maka bila tidak masuk kerja mereka khawatir tidak dapat upah. Dari situ lah para buruh memaksa diri untuk tetap bekerja meskipun positif COVID-19.

"Pekerja kontrak dan borongan akan terpaksa tetap bekerja, meski sakit, karena takut kehilangan upah. Klaster pabrik sangat agresif, buruh TGSL (tekstil, garmen, sepatu, dan kulit), dalam dua minggu saja di Cakung, Tangerang, Subang, dan Solo ribuan anggota kita terpapar," ungkap Dian dalam konferensi pers virtual, Senin (19/7/2021).

Di mata para buruh, PPKM Darurat juga tidak berlaku. Mereka menilai di pabrik-pabrik tempatnya bekerja sama sekali tidak menerapkan aturan PPKM Darurat. Semua aturan dan protokol kesehatan tidak ada yang berlaku di pabrik industri tekstil, garmen, sepatu, dan kulit (TGSL).

Dian mengatakan banyak pabrik di daerah sentra tekstil masih mempekerjakan pekerjanya 100%. Sebagai informasi, dalam aturan PPKM Darurat untuk sektor industri orientasi ekspor dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal dengan 50% staf di fasilitas produksi/pabrik, serta 10% untuk pelayanan administrasi perkantoran.

"Pada sektor manufaktur TGSL, PPKM nyaris tidak berlaku bagi ratusan ribu atau bahkan jutaan pekerjanya. Di banyak sentra industri sektor ini misal, Cakung, Tangerang, Subang, Sukabumi, dan Solo, puluhan pabrik masih beroperasi 100%," ungkap Dian.

Dian mengatakan para pekerja terpaksa untuk tetap bekerja, jika tidak mereka akan kehilangan pekerjaan. Para pekerja bahkan harus melakukan lembur. Buruknya lagi, protokol kesehatan sama sekali tidak dilakukan di pabrik.

Untuk hand sanitizer dan fasilitas cuci tangan saja sama sekali tidak disediakan perusahaan. Belum lagi beberapa fasilitas seperti tes COVID-19 berkala ataupun vitamin untuk menjaga imunitas para buruh.


Hide Ads