Paket subsidi upah Australia, JobKeeper jadi sorotan. Hal ini terjadi setelah beberapa perusahaan besar yang memiliki kenaikan pendapatan dan keuntungan ikut mengantongi bantuan yang ditujukan mengurangi imbas pandemi kepada perusahaan.
Dalam laporan ABC News, dilansir Jumat (10/9/2021), salah satu perusahaan yang mendapatkan bantuan JobKeeper adalah Tutt Bryant, konglomerasi asal Singapura yang memasok mesin dan peralatan konstruksi. Perusahaan itu mengantongi AU$ 5,4 juta atau sekitar Rp 56,7 miliar (kurs Rp 10.500) dari bantuan subsidi gaji JobKeeper.
Tutt Bryant Group secara 100% dikendalikan oleh perusahaan Singapura Tat Hong Holdings, salah satu nama terkemuka dalam penjualan crane, alat berat, dan peralatan konstruksi di seluruh Asia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam laporan keuangan terbaru Tutt Bryant, perusahaan mengalami kenaikan pendapatan lebih dari 15%. Rincinya, laba naik AU$7,7 juta, dan dividen dikembalikan sebesar AU$8,4 juta. Meski begitu, perusahaan tetap menerima AU$5,4 juta dalam skema pembayaran JobKeeper.
Program JobKeeper sendiri adalah salah satu dukungan stimulus COVID-19 dari otoritas Australia untuk membantu perusahaan menghadapi pandemi, khususnya setelah ada kebijakan lockdown yang dilakukan. Tujuan program ini adalah agar para pekerja di berbagai perusahaan tidak mengalami PHK dengan pemberian subsidi upah.
Adapun menurut desain aturan JobKeeper memang sah-sah saja bagi perusahaan untuk mengklaim subsidi upah dan kemudian mengalami peningkatan laba. Di sisi lain juga tidak ada kewajiban hukum untuk membayar kembali uang tersebut.
Tetapi hal ini telah menjadi perdebatan politik yang meluas. Apakah perusahaan yang diuntungkan dengan JobKeeper harus memiliki kewajiban moral untuk membayar kembali, apalagi kalau perusahaan itu mengalami peningkatan pendapatan selama pandemi.
Atas perdebatan ini, otoritas Australia pun dipanggil parlemen. Akan ada dua sidang besar yang menyelidiki regulator soal kurangnya transparansi skema JobKeeper.