Colek Jokowi dan DPR, Pengusaha Kritik RUU KUP

Colek Jokowi dan DPR, Pengusaha Kritik RUU KUP

Trio Hamdani - detikFinance
Rabu, 22 Sep 2021 22:34 WIB
Sutrisno Iwantono- Ketua Tim Ahli Apindo
Foto: Muhammad Idris/detikFinance: Sutrisno Iwantono
Jakarta -

Pelaku usaha yang tergabung dalam Kolaborasi Usaha Kecil Menengah Nasional (Komnas UKM) mengeluhkan Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). RUU ini sedang dibahas pemerintah bersama DPR RI.

Menurut Ketua Umum Jaringan Usahawan Independen Indonesia (Jusindo) sekaligus Ketua Umum Komnas UKM, Sutrisno Iwantono isi RUU KUP dampaknya lebih buruk bagi pelaku usaha kecil dibandingkan UU KUP yang berlaku saat ini.

"Kami minta Pemerintah terutama Bapak Presiden Jokowi dan DPR agar menampung dan tidak mengabaikan aspirasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK), kita melihat bahwa pemerintah dan DPR tidak peka terhadap keadaan UMK. RUU KUP bagi UMK lebih buruk dari yang sekarang," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima detikcom, Rabu (22/9/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil khususnya Pasal 124, menyatakan bahwa UMKM diberi kemudahan atau penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Lebih lanjut, UMKM tertentu dapat diberi insentif pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.

ADVERTISEMENT

"RUU-KUP ternyata bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang tersebut, karena itu kami tetap pada usulan kami," sebutnya.

Dia menjelaskan bahwa pemerintah berencana untuk menerapkan pajak penghasilan minimum sebesar 1% dari peredaran bruto. Pihaknya mengusulkan ketentuan tersebut tidak diberlakukan bagi usaha mikro dan kecil (UMK). Pihaknya menolak ketentuan tersebut, dan tetap berpedoman pada substansi Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018 dengan perubahan tidak diberlakukan batas waktu bagi usaha mikro dan kecil misalnya 3 tahun sampai 7 tahun.

"Artinya selama statusnya masih usaha mikro dan kecil makan substansi yang terdapat pada PP No 23 Tahun 2018 tetap berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu," jelas Sutrisno.

Lebih lanjut dia jelaskan, pihaknya meminta bahwa UMK tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari penjualan/omset bruto tahunan, bahkan untuk usaha mikro sementara ini nol persen dengan bercermin dari negara lain atau dengan alternatif pilihan dikenai PPh sesuai Pasal 31 e Undang-Undang Pph, sehingga pihaknya sangat keberatan apabila Pasal 31 e akan dihapuskan dalam RUU KUP yang saat ini sedang dibahas.

Bersambung ke halaman berikutnya.

Pihaknya juga mengusulkan besarnya penjualan omzet bruto tahunan dinaikan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 miliar. Tujuannya agar selaras dengan kriteria Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Hal ini dengan pertimbangan bahwa angka Rp 4,8 miliar sudah berlangsung hampir 10 tahun sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonomi, disamping itu kriteria usaha mikro dan kecil sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja sebagaimana diperjelas dalam PP No.7/2021," lanjutnya.

Usaha mikro dan kecil yang dimaksudkan disini, dijelaskannya adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu berupa perorangan maupun badan usaha (CV, Firma, Usaha Dagang, Perseroan Terbatas dan sejenisnya).

Pihaknya tetap meminta bahwa selama mereka berstatus usaha mikro dan kecil maka tetap mengikuti peraturan yang berlaku, tidak dibatasi oleh waktu seperti saat ini yang hanya diberikan kelonggaran selama antara 3 sampai 7 tahun. Pada kenyataannya, menurut dia pembuatan laporan pajak itu harus terlebih dahulu dilakukan dengan membuat laporan keuangan harian. Usaha mikro dan kecil tidak mampu membayar gaji bagi tenaga yang memiliki skill di bidang keuangan.

"Kami juga tidak setuju jika penyidik pajak diberi kewenangan penangkapan, hal ini sangat kontra produktif terhadap upaya untuk mengembangkan kegiatan usaha. Semangat UU Cipta Kerja adalah mendorong penciptaan lapangan kerja, tetapi malah terancam oleh ketentuan pidana sehingga hal ini menjadikan UMK terdemotivasi. Kita justru memerlukan iklim usaha yang sehat yaitu menciptakan kenyamanan berusaha bukan dengan menciptakan ketakutan," tambah Sutrisno.


Hide Ads