Jejak Pengampunan Pajak di Indonesia, Dimulai Sejak Era Soekarno

Jejak Pengampunan Pajak di Indonesia, Dimulai Sejak Era Soekarno

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Minggu, 10 Okt 2021 08:15 WIB
BUMN percetakan uang, Perum Peruri dibanjiri pesanan cetak uang dari Bank Indonesia (BI). Pihak Peruri mengaku sangat kewalahan untuk memenuhi pesanan uang dari BI yang mencapai miliaran lembar. Seorang petugas tampak merapihkan tumpukan uang di cash center Bank Negara Indonesia Pusat, kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (21/10/2013). (FOTO: Rachman Haryanto/detikFoto)
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Tahun depan pemerintah akan memberikan tax amnesty atau pengampunan pajak jilid II. Hal ini setelah disahkannya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam UU tersebut, program ini diberi nama pengungkapan sukarela wajib pajak yang disebut menjadi tax amnesty jilid II. Rencananya program ini berjalan periode 1 Januari-30 Juni 2022.

Sebenarnya program pengampunan pajak ini sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu. Dikutip dari edukasi.pajak.go.id disebutkan Presiden Soekarno merupakan presiden pertama yang menggelar pengampunan pajak ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak program ini diterbitkan.

Ada beberapa subjek pengampunan pajak antara lain Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Sedangkan untuk Objek Pengampunan adalah Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, Pajak Perseroan dan Bea Meteri Modal.

ADVERTISEMENT

Nah untuk Wajib Pajak yang diampuni maka harus membayar sejumlah uang tebusan dengan persentase 10% dari nilai kekayaan yang diampunkan dan ada tarif reduksi 5% yang merupakan perangsang jika kekayaan yang diampunkan ditanamkan baik pada usaha baru atau usaha yang bisa mempertinggi produksi di sektor pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, perindustrian dan pengangkutan.

Pengampunan pajak saat itu bertipe investigation amnesty. Hal ini menjanjikan pemerintah tak akan menyelidiki sumber penghasilan yang dilaporkan pada tahun tertentu dan ada sejumlah uang pengampunan yang harus dibayar.

Program pengampunan pajak 1964 itu dinilai oleh banyak pihak tidak sesuai dengan target pemerintah. Bahkan jumlah dana yang dihasilkan itu tidak cukup dan program pengampunan pajak dirancang tanpa pemikiran yang matang.

Tapi saat itu ada sejumlah alasan yang membuat pemerintah membuat program ini. Antara lain, saat itu kondisi ekonomi tidak stabil, inflasi terus naik dari tahun ke tahun.

Kondisi ini membuat para Wajib Pajak beralasan untuk menghindari pajak laba, pendapatan dan kekayaannya.

Kemudian saat itu belum ada sistem pembukuan yang lengkap dan benar. Karena Indonesia menganut sistem laba fiskal dan meliputi laba inflasi. Nah hal ini membuat Wajib Pajak untuk ngemplang.

Kala itu, tarif Pajak Pendapatan masih menganut tarif progresif. Para Wajib Pajak ini menganggap jika ini adalah hal yang berat. Bahkan disebut sebagai hukuman. Karena masyarakat menilai jika pendapatan yang dikantongi tidak sesuai dengan hasil kerja keras, apalagi waktu itu inflasi masih tinggi.

Selanjutnya Indonesia saat itu membutuhkan dana yang besar untuk pembiayaan 'Revolusi Nasional Indonesia', pelaksanaan Dwikora dan melanjutkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menjadi salah satu konsep dalam pemerintahan Soekarno.

Selain pengampunan pajak, pemerintah pada 1964 juga mengeluarkan paket kebijaksanaan ekonomi dan keuangan atau fiskal di bawah kendali Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).

Bagaimana di era Presiden Soeharto? lanjut ke halaman berikutnya

Saksikan juga: Kisah Nurcholis, Pemilik Mal Rongsok di Depok Beromzet Rp 100 Juta per Bulan

[Gambas:Video 20detik]



Era Presiden Soeharto

Pada 1984 Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 juga memberlakukan pengampunan pajak. Alasannya adalah mulai diberlakukannya sistem perpajakan yang baru dan berbasis self assesment. Karena itu dengan pengampunan ini diharapkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Kemudian diperlukan pangkal tolak yang bersih berdasarkan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat. Namun, keinginan Wajib Pajak untuk membuka diri tampaknya masih diliputi keraguan terhadap akibat hukum yang mungkin timbul. Lalu diperlukan dukungan dari masyarakat baik yang sudah terdaftar maupun yang belum.

Program pengampunan ini membebaskan peserta dari pengusutan fiskal dan laporan tentang kekayaan dalam rangka pengampunan pajak tak akan dijadikan dasar penyidikan dan tuntutan pidana.

Saat itu ada 182.118 Wajib Pajak Perorangan dan 22.748 Wajib Pajak Badan yang terdaftar. Nilai uang tebusan mencapai Rp 45,6 miliar dari WP OP dan Rp 22,2 miliar dari WP Badan.

Sunset Policy 2008

Pada 2008 pemerintah menggali potensi di sektor perpajakan dan mengeluarkan kebijakan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

Sunset Policy ini juga strategi pemerintah untuk mengajak masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 ada Tahun Pembinaan Wajib Pajak. Ini memungkinkan WP yang belum melapor SPT dengan benar dan lengkap untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya punya kesempatan terbebas dari sanksi pidana.

Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) 2016

Tahun 2016 pemerintah mengeluarkan program amnesti pajak atau penghapusan pajak yang seharusnya terhutang. Jadi WP tidak dikenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan mengungkap harta dan bayar uang tebusan.

Saat itu program berjalan 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2021. Pemerintah berhasil mendapatkan uang tebusan Rp 165 triliun. Dana yang direpatriasi dari luar negeri mencapai Rp 1.000 triliun dan dana yang dideklarasi Rp 4.000 triliun baik di luar maupun dalam negeri.


Hide Ads