Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marves), Septian Hario Seto menjelaskan panjang lebar mengenai duduk perkara yang saat ini melibatkan dua pejabat negara yaitu Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir dalam dugaan bisnis PCR.
Septian menjelaskan, di awal pandemi COVID-19, Indonesia dilanda kesulitan alat tes PCR. Bahkan saat itu, satu kali tes PCR bisa mencapai Rp 5-7 juta untuk satu orang dengan hasil yang dijanjikan beberapa hari kemudian berdasarkan pengalaman pribadinya.
Atas kejadian tersebut, Septian yang saat itu baru menjabat Komisaris BNI langsung melaporkan kondisi tersebut kepada Luhut karena urgensi tes PCR dalam pengecekan COVID-19. Dia mengatakan, jika mengandalkan anggaran pemerintah maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menambah kapasitas PCR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya, Luhut memerintahkan Septian untuk mencari alat PCR. Saat itu, Luhut bilang PCR itu dalam bentuk donasi ke Fakultas Kedokteran yang ada di beberapa perguruan tinggi bahkan, Luhut disebut merogoh kocek miliknya sendiri.
"'Soal uang, nanti kita sumbang saja To', perintah Pak Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini," kata Septian dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/11/2021).
![]() |
Berdasarkan diskusi dengan beberapa profesor dan dosen di perguruan tinggi, diputuskan alat PCR dibeli dari Roche pada Maret 2020 lalu. Pemesanan itu diikuti oleh Menteri BUMN Erick Thohir yang saat itu memerintahkan Budi GUnadi Sadikin saat menjabat Wamen BUMN untuk memesan alat PCR demi kebutuhan rumah sakit-rumah sakit BUMN.
"Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga order-nya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," ujarnya.
Alat PCR pun tiba pada April 2020. Namun, alat tersebut tidak bisa langsung digunakan karena menunggu reagen PCR yang baru tiba pada awal Mei. Perjalanan untuk pengadaan alat PCR pun tak berjalan mulus, sebagian perintilan alat PCR sulit untuk didapatkan seperti VTM (Viral Transport Medium) dan RNA.
Baca juga: Para Raksasa di Bisnis Tes PCR |
Hingga akhirnya, Luhut mendapatkan sumbangan dari China untuk reagen dalam rangka membantu penanganan COVID-19 di Indonesia. Donasi Luhut dan kawan-kawan yang mulanya hanya cukup untuk 10 ribu tes untuk masing-masing laboratorium bisa bertambah hingga 50 ribu per laboratorium.
"Mengapa sih saya cerita panjang lebar seperti di atas? Pertama, saya ingin menceritakan kepada teman-teman bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu. Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR," kata Septian.
"Kementerian BUMN, melalui perintah Pak Erick dan Pak Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," sambungnya.
Bagaimana dengan PT GSI? Berlanjut ke halaman berikutnya.
Simak Video "Luhut Buka Suara soal Bisnis PCR di PT GSI"
[Gambas:Video 20detik]