Anak Buah Buka Suara soal Dugaan Luhut-Erick di Bisnis PCR

Anak Buah Buka Suara soal Dugaan Luhut-Erick di Bisnis PCR

Siti Fatimah - detikFinance
Senin, 08 Nov 2021 14:16 WIB
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan
Foto: KEMENKO MARVES
Jakarta -

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marves), Septian Hario Seto menjelaskan panjang lebar mengenai duduk perkara yang saat ini melibatkan dua pejabat negara yaitu Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir dalam dugaan bisnis PCR.

Septian menjelaskan, di awal pandemi COVID-19, Indonesia dilanda kesulitan alat tes PCR. Bahkan saat itu, satu kali tes PCR bisa mencapai Rp 5-7 juta untuk satu orang dengan hasil yang dijanjikan beberapa hari kemudian berdasarkan pengalaman pribadinya.

Atas kejadian tersebut, Septian yang saat itu baru menjabat Komisaris BNI langsung melaporkan kondisi tersebut kepada Luhut karena urgensi tes PCR dalam pengecekan COVID-19. Dia mengatakan, jika mengandalkan anggaran pemerintah maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menambah kapasitas PCR.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akhirnya, Luhut memerintahkan Septian untuk mencari alat PCR. Saat itu, Luhut bilang PCR itu dalam bentuk donasi ke Fakultas Kedokteran yang ada di beberapa perguruan tinggi bahkan, Luhut disebut merogoh kocek miliknya sendiri.

"'Soal uang, nanti kita sumbang saja To', perintah Pak Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini," kata Septian dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/11/2021).

ADVERTISEMENT
Hari ini vaksin tahap ke-14 kembali tiba di Indonesia. Sebanyak 8 juta bulk vaksin Sinovac mendarat di Bandara Soetta. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang menerima dan melihat langsung.Anak Buah Buka Suara soal Dugaan Luhut-Erick di Bisnis PCR Foto: AmiriYandi/DJIKP-Kemkominfo

Berdasarkan diskusi dengan beberapa profesor dan dosen di perguruan tinggi, diputuskan alat PCR dibeli dari Roche pada Maret 2020 lalu. Pemesanan itu diikuti oleh Menteri BUMN Erick Thohir yang saat itu memerintahkan Budi GUnadi Sadikin saat menjabat Wamen BUMN untuk memesan alat PCR demi kebutuhan rumah sakit-rumah sakit BUMN.

"Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga order-nya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," ujarnya.

Alat PCR pun tiba pada April 2020. Namun, alat tersebut tidak bisa langsung digunakan karena menunggu reagen PCR yang baru tiba pada awal Mei. Perjalanan untuk pengadaan alat PCR pun tak berjalan mulus, sebagian perintilan alat PCR sulit untuk didapatkan seperti VTM (Viral Transport Medium) dan RNA.

Hingga akhirnya, Luhut mendapatkan sumbangan dari China untuk reagen dalam rangka membantu penanganan COVID-19 di Indonesia. Donasi Luhut dan kawan-kawan yang mulanya hanya cukup untuk 10 ribu tes untuk masing-masing laboratorium bisa bertambah hingga 50 ribu per laboratorium.

"Mengapa sih saya cerita panjang lebar seperti di atas? Pertama, saya ingin menceritakan kepada teman-teman bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu. Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR," kata Septian.

"Kementerian BUMN, melalui perintah Pak Erick dan Pak Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," sambungnya.

Bagaimana dengan PT GSI? Berlanjut ke halaman berikutnya.

Terkait lahirnya PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), Septian mengatakan perusahaan didirikan untuk kebutuhan penanganan pandemi COVID-19. Menurutnya, keuntungan yang dihasilkan akan dikembalikan dalam bentuk PCR gratis.

"Sifatnya lebih social entrepreneurship. Jadi keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan social, seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, ataupun orang-orang yang di wisma atlet. Mereka bahkan juga membantu Kemenkes untuk melakukan genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian delta. Model ini lebih sustainable karena tidak mengandalkan donasi," paparnya.

Akan tetapi, Septian menyadari, adanya Luhut di GSI menimbulkan potensi conflict of interest karena jabatannya sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali pada Juli 2020. Meski begitu, penunjukan itu jauh setelah pendirian GSI.

"Memang saya akui saya kurang hati-hati dalam mengingatkan Pak Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat pak Luhut (jujur saya sendiri juga lupa kalau Toba Sejahtera berpartisipasi di GSI). Tapi memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini," imbuhnya.

"Kemudian, ketika Pak Luhut menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga kondisi Covid-19 di Jawa Bali bisa lebih baik. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," katanya.

Dia menilai, dugaan bisnis PCR yang timbul saat ini terlalu ekstrim karena keputusan yang diambil melihat dari situasi pandemi COVID-19.

"Saya selalu ingat pesan Pak Luhut, kalau kita melakukan kebaikan dan bantuan nggak perlu diingat-ingat, supaya kita tidak merasa memiliki budi kepada orang lain. Tapi kalau kita melakukan hal yang buruk, harus diingat supaya kita tidak mengulangi. Namun, dalam kasus GSI ini, saya merasa framing-nya dan tuduhannya terlalu gila," tuturnya.

Terakhir, terkait harga PCR, menurutnya tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dengan awal pandemi. Dulu, kata dia, susah untuk mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain.

"Saat ini kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah. Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Pak Luhut dalam memutuskan. Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP, semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan," pungkasnya.



Simak Video "Luhut Buka Suara soal Bisnis PCR di PT GSI"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads