Sejarah Kebangkitan Ekonomi hingga Banyak Negara Terjerat Jebakan Utang China

Sejarah Kebangkitan Ekonomi hingga Banyak Negara Terjerat Jebakan Utang China

Siti Fatimah - detikFinance
Minggu, 05 Des 2021 16:58 WIB
Utang China di Infrastruktur RI
Foto: Utang China di Infrastruktur RI (M Fakhry Arrizal/detikcom)

Bursa Efek Kembali Dibuka

Selain menghukum para pemrotes otoritas pemerintah, mereka menjanjikan imbalan bagi mereka yang tertarik menghasilkan uang. Pada Desember 1990, mereka membuka kembali bursa efek di Shanghai hingga memicu demam tinggi di pasar saham.

"Saham ditawarkan dan bagi orang China itu permainan baru yang menarik. Ini kesempatan untuk menjadi kapitalis sejati. Saya mengimpikan uang. Hanya uang," kata seorang warga China.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

China Produksi Barang Palsu

Akhir tahun 1990-an tanda-tanda kesuksesan ekonomi China melanglang buana. Kenangan akan warga sipil yang terbunuh di Lapangan Tiananmen dan kebebasan yang mereka cari mulai memudar.

Di sisi lain, upah buruh serta kualitas hidup mereka meningkat. Perusahaan asing pun mulai bergegas membuka lapak untuk menjangkau miliaran konsumen China. Barang impor mewah menjadi simbol status yang sangat didambakan.

ADVERTISEMENT

Namun sebagian besar warga China tak mampu membeli barang impor mahal bermerek. Akhirnya, permintaan akan barang palsu muncul, tentu saja memicu ledakan baru bagi produsen China hingga barang palsu mampu menyumbang 8% dari total PDB China. Barang-barang palsu pun mulai merambah ke seluruh dunia.

Lima barang palsu terbesar China adalah smartphone, tas mewah bermerek, alas kaki, pakaian olahraga tiruan Nike, Puma hingga North Face dan diperkirakan 20% kosmetik di pasar China adalah produk palsu.

Produsen original tentu tidak diam saja. Keinginan China masuk dalam World Trade Organization atau WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) didukung oleh Presiden AS Bill Clinton asal China mampu tegas untuk menindak produsen peniru dan itu pun diamini oleh China.

Lalu pada November 1998, Amerika setuju mendukung masuknya China ke WTO. "Amerika Serikat dan China baru saja mencapai kesepakatan perihal WTO. Ini sungguh pencapaian bersejarah," kata Richard Holbrooke selaku Duta Besar Amerika Serikat saat itu.

Akan tetapi, China melanggar janjinya soal produsen barang palsu. Nyatanya hingga 2019, sekitar 85% barang palsu di seluruh dunia masih berasal dari China dan posisi kedua ditempati oleh Turki dengan persentase hanya 3%.

Krisis Ekonomi 2008

Singkat cerita, perjalanan ekonomi China tak lepas dari sejarah krisisnya. Perbedaanya ini adalah krisis ekonomi global, bencana ekonomi terparah sejak tahun 1929. Di Amerika lebih dari 2,6 juta orang kehilangan pekerjaan, 1,8 juta bisnis gulung tikar serta 10 juta rumah disita dalam waktu kurang dari 2 tahun.

Pada Desember 2008, China juga terkena imbasnya melalui berakhirnya ekspor China ke AS. Banyak pabrik China tutup termasuk satu pabrik besar yang memproduksi simbol musim dingin (christmas). Eits, perlu diingat, di China, negara mengatur segalanya dan Pemimpin Tertinggi baru China Hu Jintao justru punya solusi jitu menghadapi krisis tersebut dengan menggunakan anggaran negara untuk menutupi kerugian.

"Untuk kembangkan sistem politik sosialis dan demokrasi, kita harus melanjutkan kebijakan Sosialisme dengan Karakteristik China," kata Jintao dalam sebuah forum.

Tanpa kebebasan pers dan perlawanan politik, pemerintah China dengan cepat melanggengkan dana talangan sebesar US$ 586 miliar. Pabrik-pabrik China langsung tancap gas dari membuat barang untuk diekspor menjadi produksi barang untuk konsumen dalam negeri. Bagi China, krisis ekonomi tahun 2008 nyatanya tak begitu menjatuhkan tapi hanya kemelut sepintas.

Investasi di Negara-negara Berkembang

China semakin agresif soal pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2005, China membangun wilayah seluas Roma setiap dua pekan sekali. Antara tahun 2011 dan 2013, China menggunakan lebih banyak semen (6,6 gigaton) daripada Amerika (4,5 gigaton) dalam 100 tahun.

Dengan pengaruh ekonomi barunya, China diam-diam mulai berinvestasi di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Salah satu kebijakan paling ambisinya disebut Prakarsa Sabuk dan Jalan yaitu berjibunnya proyek infrastruktur di seluruh dunia.

Beberapa di antaranya adalah rel kereta sepanjang 12.000 kilometer yang membentang dari Yiwu di pesisir China hingga ke London. Itu merupakan jaringan rute darat yang menghubungkan China Timur dengan Pelabuhan Laut Dalam Pakistan. Jalur ini diperkirakan mencakup 4,4 miliar orang dan US$ 2,1 triliun produksi bruto atau 63% dari populasi dunia dan 29% dari PDB dunia.

Selain itu, ada juga pembangunan infrastruktur berupa saluran pipa sepanjang 1.833 kilometer yang bisa mengalirkan gas alam dari Turkmenistan di sepanjang Asia Tengah ke perbatasan China. Setidaknya pada 2015, China telah berinvestasi lebih dari US$ 1 triliun dalam proyek infrastruktur di banyak negara.

Strategi terkini pemimpin baru China, Xi Jinping yang dikenal dengan konsep Jalur Sutra atau 'One Belt, One Road' yang terdiri dari 'Sabuk Ekonomi Jalur Sutra Baru' (news Silk Road economic belt) membuat negara Barat terkejut. Format konsep China cukup sederhana, siapkan proyek oleh pemerintah setempat khususnya di sektor transportasi dan energi, selanjutnya China langsung memberikan pinjaman jangka panjang dengan bunga yang sangat kompetitif.

Xi Jinping juga menambahkan satu konsep lagi di jalur lautan yakni 'Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road) yang dipandang sebagai upaya untuk mempererat hubungan dengan Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan memfokuskan pada keamanan perdagangan Maritim.Pendukung investasi internasional China mengklaim proyek-proyek infrastruktur ini akan membebaskan jutaan orang dari kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja di negara-negara miskin.

Sementara Kritikus mengatakan, strategi itu adalah perampasan tanah dengan buku utang sebagai pedangnya. Bagaimanapun juga, dengan strategi itu mampu meningkatkan kekayaan China secara besar-besaran. Dikutip dari Asean China, pada 2013 Xi Jinping menegaskan dalam pidatonya dihadapan parlemen Indonesia bahwa China akan memperkuat kerja sama maritim dengan ASEAN dan memajukan partnership maritim dengan ASEAN dalam rangka membangun Jalur Maritim Abad ke-21.

Penekanan utama terletak pada kerja sama ekonomi yang kuat termasuk aspek finansial, patungan infrastruktur (pembangunan jalan raya dan jalur kereta) serta kerja sama teknis dan ilmiah dalam isu lingkungan. Pada 2018, ekonomi China tumbuh sebesar US$ 13 triliun dan hampir menyamai Amerika dengan nilai sebesar US$ 20 triliun. Tebakan yang masuk akal kapan ekonomi China mengungguli Amerika adalah pada tahun 2025, banyak pihak memprediksi China dapat menjadi raksasa ekonomi nomor satu di dunia.

Dengan strategi China 'One Belt, One Road' itu memunculkan beberapa negara yang tidak mampu menjalankan proyek kerja sama dengan tepat. Sehingga proyek itu mangkrak dan pemerintah yang bersangkutan terpaksa menanggung utang besar hingga pada akhirnya pemerintah menyerahkan pembangunan infrastruktur yang awalnya berbentuk kerja sama itu untuk dibangun dan dikelola oleh perusahaan China.


(dna/dna)

Hide Ads