Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ingin agar Nomor Induk Kependudukan (NIK) digabung dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) seperti yang dirancang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal ini bertujuan agar memudahkan masyarakat wajib pajak untuk membayar kewajibannya.
Sri Mulyani mengatakan saat ini penduduk Indonesia terlalu banyak memiliki nomor berbeda mulai dari NIK, NPWP, hingga paspor. Berbagai nomor itu justru menyulitkan masyarakat karena setiap keperluan yang berbeda harus menggunakan nomor yang berbeda juga.
"Jadi NIK itu unik dan terus dipakai sejak lahir sampai meninggal. Tidak perlu setiap urusan nanti, KTP nomornya lain, paspor lain, pajak lain, bea cukai lain. Pusing lah jadi penduduk Indonesia itu," kata Sri Mulyani dalam sosialisasi UU HPP, Selasa (15/12/2021).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut penggabungan berbagai nomor serupa telah diterapkan di Amerika Serikat (AS). Di negara tersebut setiap penduduknya hanya memiliki satu nomor yakni Social Security Number (SSN) yang digunakan untuk berbagai macam keperluan masyarakat di Negeri Paman Sam tersebut.
Sri Mulyani yang juga berkuliah di AS menyebut, mulai dari dirinya mengenyam pendidikan master hingga bekerja sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, SSN yang dimiliki tetap sama. Padahal dirinya sempat meninggalkan AS untuk kembali bekerja di Indonesia dalam waktu yang lama.
"Jadi paling tidak untuk urusan perpajakan itu kita gunakan NIK identik dengan NPWP. Pada saat Anda memiliki kemampuan bayar pajak, nggak perlu minta NPWP lagi," ucap Sri Mulyani.
Meski begitu, integrasi NIK dengan NPWP tidak berarti seluruh warga dikenakan pajak. Pengenaan pajak hanya berlaku bagi pihak yang sudah bekerja maupun yang menjalankan aktivitas bisnis dengan besaran penghasilan tertentu.
Berdasarkan UU HPP, penghasilan kena pajak (PKP) dikenakan untuk masyarakat dengan pendapatan Rp 60 juta per tahun atau di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp 4,5 juta per bulan.
Masyarakat dengan gaji Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun tidak akan diambil pajaknya. Begitu pula UMKM, dengan omzet maksimal Rp 500 juta per tahun tidak akan dikenakan pajak.
"NIK memang akan identik dengan NPWP. Tapi kewajiban pajak tergantung dari kemampuan. Kalau tidak mampu bukan bayar pajak, tapi mendapatkan bantuan pemerintah," pungkasnya.
Lihat juga video 'Menkeu Sri Mulyani: Transformasi Digital Kunci Bagi Pelaku UMKM':
(aid/eds)