Atlet olahraga saat ini tidak hanya bertanding secara konvensional berupa adu otot atau peras keringat di lapangan. Perkembangan teknologi membuat itu bisa dilakukan lewat elektronik hingga muncul istilah E-Sports.
"Banyak yang mempertanyakan kok E-Sports bisa dianggap olahraga? Emang yang bergerak apa sih cuma jari doang. Olahraga itu nggak mesti bergantung sama otot besar, banyak olahraga yang nggak menggunakan otot besar contohnya catur. Olahraga juga bisa bergantung pada teknologi," kata Pengurus Besar E-Sports Indonesia (PBESI) Ricky Setyawan dalam program d'Mentor detikcom, Kamis (27/1/2022) malam.
Tak hanya modal bisa main game, menjadi atlet profesional E-Sports juga dibutuhkan ketahanan tubuh yang kuat agar bisa mencapai kemenangan sampai akhir pertandingan.
"Kalau olahraga itu kan ada tiga jenis yaitu strength, flexibility, dan endurance. E-Sports juga membutuhkan ini karena kalau dari sisi fisik nggak kuat pasti akhir-akhir kalah. Pemain Eropa dunia E-Sportsnya jauh lebih maju dibanding kita, itu badannya sudah pada bagus-bagus semua karena mereka memahami nutrisi, bahwa badan mesti keker jadi mereka main berapa lama pun tetap pikirannya bisa fokus," bebernya.
Melihat itu, Ricky mengaku cukup sulit mencari atlet E-Sports di Indonesia. Pasalnya industri ini bukan cuma membutuhkan orang yang modal bisa main game.
"Orang membayanginya (jadi atlet E-Sports) mungkin main game 8-10 jam sehari, itu main game. Jadi atlet mungkin kita main 4 jam setelah itu analisis, diskusi, menghapal gerakan lawan, dan sisi profesionalismenya juga ada," terangnya.
Untuk itu, Ricky ingin mengubah pandangan masyarakat luas bahwa industri E-Sports tidak hanya soal main game. Salah satu caranya adalah dengan masuk ke akademisi sampai level ekstrakurikuler di sekolah-sekolah.
"Sikap profesionalisme atlet ini yang masih jarang di Indonesia, kebanyakan atlet-atlet E-Sports belum siap sama dunia profesional. Misal mau main kalau teman saya ini ikut juga," tandasnya.
(aid/eds)