DMO Naik Jadi 30%, Pengamat: Tidak Menyelesaikan Masalah Minyak Goreng!

DMO Naik Jadi 30%, Pengamat: Tidak Menyelesaikan Masalah Minyak Goreng!

Aldiansyah Nurrahman - detikFinance
Minggu, 13 Mar 2022 20:31 WIB
Emak-emak di Konawe diperiksa polisi gegara pamer minyak goreng di media sosial (Dok. Istimewa)
Foto: Emak-emak di Konawe diperiksa polisi Gegara pamer minyak goreng di media sosial (Dok. Istimewa)
Jakarta -

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengumumkan kebijakan wajib pasok kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) minyak sawit atau crude palm oil (CPO) naik menjadi 30%. Artinya ada kenaikan 10% yang saat ini 20% dari volume ekspor.

Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, belum diperlukan kebijakan DMO CPO sebesar 30% untuk penuhi kebutuhan di dalam negeri.

Kondisi langkanya minyak goreng, menurutnya, bukan disebabkan karena kurangnya pasokan CPO di dalam negeri, tapi CPO yang ada terbagi antara kebutuhan biodiesel dan minyak goreng. Jadi, masalah pasokan di dalam negeri itu disebabkan rebutan B30 dengan minyak goreng.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Akar masalahnya di situ. Kebijakan DMO 30% tidak menyelesaikan masalah," jelasnya kepada detikcom, Minggu (13/3/2022).

Sebagai gambaran, B30 adalah bahan bakar yang berasal dari campuran minyak sawit 30% dan minyak solar 70%.

ADVERTISEMENT

Bhima menegaskan, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dahulu soal DMO 20% yang sudah berjalan. "Kalau memukul rata semua perusahaan sawit tidak patuh DMO, sehingga DMO harus dinaikkan jadi 30% itu kan zalim, ya," terangnya.

Peristiwa ini, disampaikan Bhima, bisa mengulang lagi cerita soal DMO batubara yang mana nantinya bisa berakhir dengan pelarangan ekspor total CPO karena kepatuhan DMO rendah. Maka, yang terkena dampaknya adalah perusahaan-perusahaan yang patuh aturan.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Maka dari itu, tambah Bhima, idealnya pemerintah menindak tegas perusahaan CPO yang tidak patuh DMO. Tapi, sampai sekarang, ia mengaku, tidak mendengar berapa persen kepatuhan perusahaan terhadap DMO.

"Nama-nama perusahaan yang tidak patuh siapa saja, lalu apa sudah dicabut izin ekspornya. Yang terjadi justru Menteri Perdagangan keluar dengan kebijakan yang menambah kisruh pasar sawit," tutur Bhima.

Karena itu, ia meminta dibatalkan DMO 30%. Dengan berlakunya DMO 30% akan membuat harga CPO tambah liar di pasar internasional dan memicu bocornya CPO keluar negeri karena disparitas harga antara ekspor dan domestik makin jauh.

"Yang membuat harga CPO makin mahal bukan hanya soal perang di Ukraina, tapi kebijakan pemerintah sendiri. Itu sangat disayangkan," tambah Bhima.

Kebijakan DMO punya dampak menekan keuntungan bagi perusahaan sawit yang sebelumnya full ekspor. Selain itu, menurut Bhima, perusahaan sawit yang kena imbas DMO adalah perusahaan yang tidak punya integrasi dengan industri makanan minuman atau hilirisasi sawit. Akhirnya perusahaan bingung mau jual DMO kemana.

Dalam kesempatan terpisah, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak DMO 30% dari sebelumnya 20%. "Tidak perlu DMO 30%, cukup 20% dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3).

Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet. "Apabila ekspor terhalang, maka perkebunan sawit akan rugi karena 64% market kita ada di pasar luar negeri," ungkapnya.


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads