Maka dari itu, tambah Bhima, idealnya pemerintah menindak tegas perusahaan CPO yang tidak patuh DMO. Tapi, sampai sekarang, ia mengaku, tidak mendengar berapa persen kepatuhan perusahaan terhadap DMO.
"Nama-nama perusahaan yang tidak patuh siapa saja, lalu apa sudah dicabut izin ekspornya. Yang terjadi justru Menteri Perdagangan keluar dengan kebijakan yang menambah kisruh pasar sawit," tutur Bhima.
Karena itu, ia meminta dibatalkan DMO 30%. Dengan berlakunya DMO 30% akan membuat harga CPO tambah liar di pasar internasional dan memicu bocornya CPO keluar negeri karena disparitas harga antara ekspor dan domestik makin jauh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang membuat harga CPO makin mahal bukan hanya soal perang di Ukraina, tapi kebijakan pemerintah sendiri. Itu sangat disayangkan," tambah Bhima.
Kebijakan DMO punya dampak menekan keuntungan bagi perusahaan sawit yang sebelumnya full ekspor. Selain itu, menurut Bhima, perusahaan sawit yang kena imbas DMO adalah perusahaan yang tidak punya integrasi dengan industri makanan minuman atau hilirisasi sawit. Akhirnya perusahaan bingung mau jual DMO kemana.
Dalam kesempatan terpisah, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak DMO 30% dari sebelumnya 20%. "Tidak perlu DMO 30%, cukup 20% dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3).
Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet. "Apabila ekspor terhalang, maka perkebunan sawit akan rugi karena 64% market kita ada di pasar luar negeri," ungkapnya.
(dna/dna)